BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konteks masa depan Islam Indonesia khususnya serta Islam pada umumnya yang terjadi hari ini justru yang muncul adalah indikasi yang kuat untuk bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam terutama Islam Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11 September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat Islam di Dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.

Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam di bawah komando Osama bin Laden membuat penilaian negatif masyarakat Barat terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik nadir.[1]

Kondisi itu mengakibatkan kaum muslim di dunia dipandang buruk dan disebut sebagai pengikut ajaran agama yang dogmanya hanya menyebarkan teror dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara pasti ajaran Islam sesungguhnya dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam, yang distigmakan sebagai kaum yang lekat dengan dunia kekerasan dan tidak bisa berdamai dengan ajaran lainnya. Sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.

Tantangan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama disadari adalah tantangan internal yang berupa fanatisme, taklid buta, bid’ah, kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dihadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa Indonesia.[2]

Skripsi ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran, dampak dan solusinya.

Pluralisme, selama ini bangsa Indonesia terlalu takut dan bahkan antipati dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan mereka dengan istilah ini. Penulis tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi Media Indonesia dengan judul ”Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”[3] tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.

Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik antar tokoh bangsa. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia sudah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika masyarakat Indonesia tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama. Walaupun beliau lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri,[4] namun spirit itu tidaklah mati begitu saja. Dua organisasi yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia mengedepankan tenggang-rasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya, ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara terjadi di mana-mana di pelosok negeri.

Tapi satu hal yang penulis soroti saat ini adalah adanya dua kutub yang senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa yang multi-kultural. Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal bangsa Indonesia sebagai agama yang toleran. Tidak ada penghinaan terhadap agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam oleh masyarakat Indonesia.

Seiring tumbuhnya Islam di Indonesia, bermacam paham agama masuk ke dalam masyarakat seperti paham wahabisme dan salafisme dari jazirah Arab. Namun masyarakat Indonesia tidak mudah ditembus dan dipengaruhi oleh dua paham ini. Dan terbukti nyata paham ini butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk bisa terserap oleh masyarakat Indonesia. Dan kini dua paham itu telah tampil mencengkeram sebagian dari bangsa Indonesia dan merusak kedamaian beragama yang sudah berjalan ratusan tahun di bumi Indonesia. Namun benar apa yang ditulis Media Indonesia di Editorialnya bahwa masyarakat Indonesia masih boleh berharap banyak pada dua pengawal sejati pluralisme di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah.

Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada tenggang-rasa antar umat beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan bangsa Indonesia. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama mungkin bisa jadi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa barbar yang beringas. Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang menghendaki hal seperti ini.

Dalam kerangka itu, Hasyim Muzadi sebagai salah satu pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, gencar melakukan agenda yang terkait dengan pentingnya membangun semangat pluralitas. Hal ini ditunjukkan dengan diselenggarakannya pertemuan Ulama’ Sunni-Syiah seluruh dunia yang diprakarsainya.[5] Pertemuan-pertemuan semacam itu seakan menjadi titik terang usaha beliau dalam menata Islam Indonesia menuju Islam Global yang lebih baik sebagai aktualisasi rahmatan lil-alamiin.

Sedang pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa Indonesia, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian antar beraneka ragam unsur-unsur etnis, dan budaya daerah. Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar atas unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka, dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekedar mengurangi kesalahpahaman.[6]

Atas dasar kenyataan seperti di atas dan juga banyaknya ide-ide dari pemikir dan pemimpin Islam di Indonesia tentang permasalahan Islam, maka Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang pemikiran atau ide pluralisme keagamaan yang terkait erat dengan hubungan antar agama dan negara.

Untuk lebih fokusnya kajian ini, Penulis mengambil pemikiran dari salah seorang tokoh Islam yang pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama) yaitu Hasyim Muzadi. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi ini didasari oleh kenyataan bahwa menurut Penulis selama ini, belum ada karya-karya yang berisi pemikiran utuh dari Hasyim Muzadi terkait dengan pemikiran pluralismenya. Kalaupun ada, hal ini hanya berupa pernyataan-pernyataan Hasyim Muzadi yang tersebar di media massa maupun media elektronik, dan juga dari beberapa buku dari para penulis yang mengungkap sebagian pemikiran atau sosok Hasyim Muzadi.

  1. B.     Batasan dan Rumusan Masalah

            Dari uraian di atas, maka perlu Penulis tegaskan bahwa batasan dan rumusan  dari permasalahan ini yaitu :

  1. Bagaimana pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama?
  2. Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara menurut Hasyim Muzadi?

Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

  1. C.     Tujuan dan Manfaat

            Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ada tujuan dan manfaat yang lain yaitu :

  1. Tujuan :
    1. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi mengenai wacana pluralisme keagamaan, serta hubungan Islam dan negara.
    2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan beliau, baik itu berlatar belakang sosial, pendidikan ataupun politik.
    3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.
    4. Manfaat :
      1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi.
      2. Bagi dunia ilmu pengetahuan, akan memberi tambahan khazanah baru dalam pemikiran yang terkait dengan wacana diatas.
      3. Bagi umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya, diharapkan akan memiliki persepsi yang benar mengenai Islam Indonesia sehingga tidak terjebak pada pemahaman tunggal yang menyebabkan fanatisme keagamaan yang berlebihan dan kontra-produktif.
  1. D.    Tinjauan Pustaka

Kajian tentang pluralisme serta hubungan agama dan negara dalam literatur Indonesia cukup banyak, dan memang  di era sekarang  kajian tersebut seperti menemukan zaman keemasannya karena didukung oleh kondisi sosio-kultural yang memang memungkinkan wacana tersebut berkembang, apalagi kondisi Indonesia yang memang plural, baik dalam hal suku bangsa, ras, maupun agama.

Sedangkan pembahasan tentang pluarlisme sendiri telah banyak dilakukan oleh para penulis baik dalam maupun luar negeri. Karya terakhir dalam rentang penulisan skripsi ini adalah tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan humanisme yang ditulis oleh Saiful Ma’arif, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menurut penulis, kajian tentang pemikiran Hasyim Muzadi sendiri belum ada yang tulis dalam bentuk skripsi, kecuali buku-buku yang telah banyak beredar walaupun tidak secara spesifik membahas tentang pluralisme Hasyim Muzadi. Buku-buku karya Hasyim kebanyakan membahas tentang bagaimana pandangan Islam mengenai globalisasi dan terorisme.

Disamping itu, dalam banyak studi dan penerbitan yang ada, pembahasan Hasyim Muzadi lebih sering ditujukan pada persoalan politik. Padahal sebagaimana yang diharapkan terdapat dalam skripsi ini, Hasyim Muzadi memiliki ide sentral pluralisme yang mewarnai banyak pemikiran-pemikirannya. Dengan latar belakang bahwa penulisan tentang ide pluralisme Hasyim Muzadi belum banyak dilakukan, skripsi ini mencoba mengangkat tema tersebut dan mengaitkannya dengan kehidupan beragama dan sosial budaya di Indonesia.

E.   Metode Penelitian

            Dalam bahasan terkait dengan penelitian ini, perlu penulis paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannya dan analisa data.

  1. Jenis penelitian.

Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.

  1. Sifat Penelitian.

Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih kepada teknik deskriptif-analisis. Yang dimaksud dengan deskriptif dalam konteks ini adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari Hasyim Muzadi dan fenomena yang mempengaruhi pemikirannya. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan beliau, dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada  aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penulis anggap sebagai representasi dari beliau.

  1. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu : data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari beliau baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan beliau dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.

  1. Pendekatan.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siyasah.

      Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran Hasyim Muzadi akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran beliau dalam masalah ini.

F.  Sistematika Penulisan

                  Dalam pembahasan ini penulis membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi pluralisme agama, relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada tokoh yang dikaji.

Bab ketiga memaparkan biografi Hasyim Muzadi. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik beliau dalam menggagas pluralism agama serta relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang beliau perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa.

Bab keempat menganalisa pemikiran beliau tentang relasi Pluralisme agama, hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan beliau terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi  saat ini.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama serta hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penulis atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.

BAB II

NEGARA DAN PLURALISME

 

  1. A.  Pengertian Negara

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. [7]

Istilah negara di terjemahkan dari kata-kata asing yaitu “steat” (bahasa Belanda dan Jerman). “state” (Bahasa Inggris. “Etat” (bahasa Perancis). Kata “Staat, State, etat itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum” yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifata yang tegak dan tetap. Kata “status” atau “statum” lazim diartikan sebagai “standing” atau “station” (kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaiman diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status Republicae”. [8]

Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang menunjukkan organisasi teritorial sesuaut bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas samapi dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan tau asosiasi maupun oleh negara sendiri.[9]

Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :

  1. Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
  2. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
  3. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

Negara mempunya dua tugas yaitu :

  1. Mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial. Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik yang membahayakan.
  2. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.[10]

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk republik yang telah diakui oleh dunia internasional dengan memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang luas serta terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa.

Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut. Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara bersama-sama.

Fungsi-Fungsi Negara :

  1. Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
  2. Pertahanan dan keamanan Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.
  3. Menegakkan keadilan Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan di segala bidang kehidupan.
  1. B.  Pengertian Pluralisme

Pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih dari satu,[11] dan isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).[12]

Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pluralisme agama. Dalam wacana pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja yang terjadi pada abad ke-15 yang berpengaruh besar terhadap perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan terutama pemikiran. Di sisi lain, Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun di luar Arab. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadialan sosial (sosial justice).[13]

Dalam kaitannya dengan  pluralisme, Islam sangat menekankan pada dua aspek dasar, yaitu :

  1. Kesatuan manusia (unity of mankind).
  2. Keadilan di semua aspek kehidupan.[14]

Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi pemimpin.[15] Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama-sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di bawah penjagaan dan perlindungannya. [16]

Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda. Allah menjelaskan bahwa dengan perbedaan itu manusia dituntut untuk saling mengenal, litaarofu.[17] Namun ketika seseorang memahami sebagai kebenaran mutlak yang ia yakini, orang itu kerap kali terjebak dalam pandangan yang mengarah pada konflik, pertikaian antara seorang muslim dan non-muslim atau mungkin diantara sesama Muslim yang berbeda faham. Bagaimana menjembatani perbedaan-perbedaan ini sehingga memungkinkan terwujudnya perdamaian?

Hal itu menurut Khamami Zada, sangat terkait dengan bagaimana seseorang memahami agama lain sebagai sesuatu yang mempunyai jalan tersendiri. Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 48, likullin ja’alna minkum siratan wa minhaja’, (untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang) dalam setiap agama itu ada syari’atnya sendiri, jalannya sendiri, yang memiliki kebenarannya masing-masing. Tanpa memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, kita akan sulit menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Disinilah kekurangan umat Islam ketika memahami agama lain sebagai sesuatu yang lain, ‘ the others’. Agama lain harus dipahami sebagai suatu realitas yang ada dimasyarakat.[18]

Islam sebaiknya tidak sekedar didakwahkan dalam perspektif yang lahiriyah, persoalan-persoalan keakhiratan yang melupakan dimensi sosial. Kalau Islam didakwahkan secara inklusif, dan bisa memahami agama-agama lain sebagai suatu realitas kebenaran tersendiri, maka Islam akan benar-benar menjadi agama rahmatan lil ’alamain.[19]

Oleh karena itu, Budhi Munawar-Rahman, menjadi penting untuk disadari adalah memposisikan fungsi kritis terhadap agama yang harus dilakukan dengan menjauhi sikap-sikap yang bersifat totaliter.[20] Disamping itu agamapun dituntut untuk mangadakan kritik terhadap dirinya sendiri, karena keberadaan agama telah mendasarkan diri pada iman kepada Tuhan “pencipta manusia” bukan Tuhan “ciptaan manusia”.[21] Agama juga tidak bisa apolitis dalam pengertian hanya membatasi diri pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat kedalam proses transformasi sosial.[22]

Abdul Wahid Hamid mengatakan, suatu ciri khas ajaran Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh. Agama yang mempunyai hubungan integral dan organik dengan politik dan masyarakat. Ideal Islam itu terbayang dalam perkembangan hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.[23] Sebagai ajaran yang benar, Islam pada dasarnya bisa diterapkan disepanjang masa dan dimanapun (shalihun li kulli zaman wa makam).[24]

Dalam tiap langkahnya, seorang muslim akan selalu berhadapan dengan Tuhan yang terepresentasikan melalui syari’atnya. Disini tanggung jawab individu menjadi jelas, karena kehadiran Tuhan dalam perasaan manusia saja sudah cukup membuat setiap manusia benar-benar sadar akan kewajibannya, demikian menurut pendapat Khurshid Ahamad.[25] Mengutif pernyataan Fazrul Rahman, kenyataan yang peling mendasar tentang Islam dalam abad sekarang ini adalah kemerdekaan dari kekuasaan asing yang dicapai oleh rakyat-rakyat Muslim diberbagai negri mereka.[26] Dengan mengacu pada kenyataan seperti itu, maka Islam telah memainkan peran yang menentukan dan dominan.

Menurut Anis Malik Toha gagasan plurarisme agama dalam wancana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wawancara pemikiran Islam, antara lain melalui karya-karya pemikiran mistik barat seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Zaeni) dan Frithjob Schuon (Isa Nurdin Ahmad). Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religion,  sangat syarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.[27] Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim syiah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Keberhasilannya dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama tersebut mengantarkannya pada sebuah posisi ilmuan kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama besar seperti Ninian Semart, John Hick, Annemarie  Schimmel. Nasr mencoba menuangkan tesisnya pada pluralisme agama dalam kemasan sophia perenis atau perenial wisdom (alhikmat alkhalidah, atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihissalam. Menurut Nasr, memeluk atau menyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sumgguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama yang satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Demikian penuturan Anis Malik Toha.[28]                                

Hamdi Fahmy mengatakan, pluralisme sebagai paham yang merambah dalam bidang agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu aliran kesatuan transenden agama-agama (transcenden unity of religion) dan teologi global. Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung grakan globalisasi. Pendekatan yang dipakai oleh aliran teologi global terhadap agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Idiologis sebab ia telah mejadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.[29]                      

Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar pluralisme. Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam hal agama seperti halnya di Indonesia. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis.[30] Jika toleransi dalam beragama tidak ditegakkan, maka negara atau bangsa tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disintegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya dan dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jika belum ada), atau menumbuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat dalam al-Qu’an surat al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, yaitu al-Baqarah: 256 yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.

Ayat di atas sebenarnya  mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam al-Qur’an disebut ajaran thagut). Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dai kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.[31] Dengan visi teologis semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi kehampaan spiritual yamg merupakan produk dunia modern.[32]

Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).[33]

Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. [34] salah satu wujud nyata dari sikap toleran adalah adanya dialog-dialog yang berfungsi menjembatani sekian kebuntuan yang ada. Dengan menilik kasus kartunisasi Nabi Muhammad oleh Jyllands Posten salah satu koran di Denmark beberapa waktu yang lalu, kasus Salman Rusdie di Inggris (1969), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan Theo Van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks yang berbedaan, namun menyisakan persoalan serius dan kompleks dalam kaitannya dengan komunitas ditingkat regional maupun global. Di antara persoalan yang belum serius didialogkan menurut Muhammad Ali adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, maka kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional, antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.[35]

Dialog antar pemeluk agama dan dialog antar kawasan seperti disinggung Ali harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance (ketidaktahuan) dalam bentuk penghubung intrinsik antara islam dan terorisme, Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Dipihak lain dikalangan umat Islam, masih ada tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah peradaban bangsa lain. Salah satu ketidak tahuan disebagian media masa barat adalah memposisikan tokoh nabi seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang muslim mungkin tidak cukup religius dalam beribadah, tapi jika nabi mereka disinggung rasa panatisme keagamaannya, mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat populer yang memuat puji-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi Selatan acara maulud memperingati kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah. Di kalangan umat Islam kecintaan umat nabi ini ada yang berlebihan, ada yang moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa membuat kartun.[36]

Dipihak lain menurut Muhammad Ali lagi, umat Islam juga perlu memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, dimuseum-museum di Eropa, banyak sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai-nilai etika kemanusian yang tidak selalu berseberangan dengan etika dikawasan lain. Karena itulah, dialog, antar budaya sungguh penting, untuk memahami sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu persoalan yang harus didialogkan.[37]

Disamping itu juga dalam kenyataanya, sikap-sikap tidak toleran itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor internal masing-masing kelompok, tetapi sering juga disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena kebijakan politik pemerintah tertentu atau kekuasaan politik global dan kekuatan dunia tertentu.[38] Dalam dunia ilmu pengetahuan istilah pluralisme sekarang ini dikembangkan secara luas oleh para ilmuan sosial. Pada level yang minimal istilah ini semata-mata mengacu kepada heterogenitas. Di kalangan para ilmuan politik, antropolog, sosiolog politik, misalnya, terjadi perselisihan apakah prulalisme itu menghambat atau melindungi pemerintah demokratik. Menurut Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan beragam saluran bagi pemegang kekuasaan atau menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok dari pada faksi-faksi politik yang saling bersaing.[39]

Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja. Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam kebhinekaan.[40]

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.[41] Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.

Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan “kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan “Colombus mencaplok Amerika”.

Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.[42] Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.

Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karenanya memiliki sistem ide yang berbeda. Jika Teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.[43]

Menurut Ignas Kleden, dikotomi yang dibuat oleh sementara psikologi agama, antara agama sebagi agama, dan agama sebagai yang dihayati dalam kesadaran para penganutnya, barangkali tidak akan diperhatikan dalam tulisan ini. Sebab bagaiman pun agama sebagai suatu entitas abstrak yang dilepaskan sama sekali dari kenyataan bagaiman dia dihayati adalah sangat sulit dibayangkan. Sedangkan, bila agama dilihat sebagai suatu realitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian suatu agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu mau dikatakan bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu mencari kemungkinan dialog antar agama. Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan substansi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbeda dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan sesuatu itu ada dasar dirinya. Ontologi justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karena itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.[44]

Sebaliknya agamapun tidak diidentikkan dengan batas-batas psikologis yang sering justru hendak diterobos oleh tuntutan dan harapan keagamaan. Dua reserve disini untuk menghindari terjebaknya agama kedalam kemungkinan Psychologisierung der Religion. Yang Pertama adalah unsur supranatural, merupakan elemen trensenden dalam tiap agama yang menyebabkan bahwa agama tidak mutlak membutuhkan suatu stratum psikologis sebagai conditio sin qua non  untuk tumbuh dan berkembang dalam penghayatan para penganutnya. Misalnya beberapa eksperimen studi psikiatri terhadap kehidupan rohani beberapa orang kudus, sama sekali tidak menggoncangkan alasan untuk tetap mengakui kekudusan mereka. Demikian pula seandainya ada pertemuan-pertemuan empiris yang bisa menunjuk indikasi-indikasi kuat tentang adanya psikose tertentu yang mereka derita dan alami selama hidupnya. Yang kedua adalah, bahwa hukum-hukum psikologis tidak selalu merupakan batas-batas yang harus diterima oleh suatu agama. Agama dan tuntunannya sering malah berusaha keluar dari siklisme psikologis semacam itu. Demikian, maka tidak berarti bahwa agama selalu bersifat menentang kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Namun mungkin bahwa apa yang dicita-citakan suatu agama mengisyartatkan pula pengakuan akan terbatasnya kemampuan manusia dalam mengindentifikasikan dirinya sendiri, dan di depan suatu realitas dan aktifitas ilahi, manusia justru ditantang untuk mengatasi ikatan-ikatan dari dunianya, batas-batas psikologisnya dan persyartan-persyatan imanensinya.[45]

Harus dicatat bahwa meningkatnya kecerdasan manusia menyebabkan ia mencari sendiri kebenaran primer yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan. Di sisi lain, menyebar luaskan agama, propaganda (dalam arti netral), atau evanggeli merupakan persoalan manusia dalam hidupnya yang telah berjalan sekurang-kurangya 25 abad. Ada agama yang non-evanggelis, seperti Yahudi yang justru bersikap ekslusif dan tidak dengan aktif menyebar-luaskan agamanya.[46]

Amin Abdullah menyatakan, dapat dibayangkan bagaimana kulaitas tingkat kenyamanan, ketenangan, kedamaian suatu masyarakat beragama yang bersifat pluralistik, jika masing-masing secara sepihak dan tertutup mengklaim bahwa tradisi agamanya sendirilah yang paling sempurna dan benar. Dan jika klaim itu merambah ke wilayah historis-ekonomis-sosiologis, maka kedamaian yang diserukan dan didambakan oleh ajaran agama-agama akan terkikis dengan sendirinya dalam kenyataan hidup keseharian. Meskipun secara ontologis-metafisis, klaim seperti itu memang dapat dimengerti, namun belum tentu dapat dibenarkan, karena memang itulah salah satu inti keberagamaan yang sebenarnya. Artinya, bahwa hard core dari pada pandangan hidup agama-agama yang beraneka ragam memang berbeda. Sedangkan hard core keberagamaan hanya dapat dinikmati secara historis, lewat sekat-sekat teologis yang ada.[47]

Perubahan sosial dalam Islam, hendaknya dilihat dari segi agama dan perubahan yang lebih luas. Manusia telah dikaruniai dengan kesadaran diri, intelek, dan imajinasi. Kecakapan-kecakapan inilah yang membedakannya dengan alam semesta lainnya, selain merupakan kenyataan bahwa dirinya juga merupakan bagian dari dirinya. Menurut John L. Eposito, agama adalah suatu sistem kepercayaan yang menempatkan dirinya (sebagi alat bantu bagi manusia) dalam upaya menghadapi kesulitan tersebut, serta kemudian menjadikan manusia agar betah di dalamnya.[48] Quraish Shihab mengatakan, pada hakikatnya, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dimana perbedaan-perbedaan sangat dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuk.[49]

Diakui bahwa, dalam sejarah agama-agama, telah terjadi pertikaian antara pemeluk agama yang sama atau antar pemeluk berbagai agama. Namun, pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non agama. Dapatkah umat masa kini menemukan pandangan dan jalan yang telah ditempuh oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan harmonis?. Kalau jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh pimpinan-pimpinan agama-agama sendiri, maka ketika itu mereka harus membenarkan pandangan yang menyatakan bahwa ada krisis agama. Karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber keresahan pemeluknya dan tidak heran bila agama hanya akan tinggal sebagai kenangan buruk sejarah.[50]

Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama memiliki ajaran yang sangat ideal dan cita-citanya sangat tinggi, bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan “benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Ia selalu menawarkan jampi-jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun kenyataan berbicara lain, agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengkaran. Menurut Ahmad Najib Burhani, fenomena ini dilatari oleh: pertama, pendewaan agama. Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat yang menyelimuti-Nya berulang kali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga mengalmi nasib yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah fungsi menjadi semisal markas jaringan “mafia”, sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul “manipulasi agama” dan “korupsi agama”.

Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara-saudara “seagama” (in group feeling) dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar diri sendiri. Misalnya sebagimana yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman dalam Islam Transpormatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama agama, namun jika keadilan sosial tidak menimpa “kita” atau saudara “kita”, maka “kita” kurang menaruh perhatian.

Ketiga,  monopoli kebenaran. Banyak agama atau bahkan seluruh agama yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu kewajiban dan memang sepantasnya memberikan doktrin-doktrin keabsolutan kebenaran agama. Namun kewajaran itu akan berubah menjadi ketidakwajaran bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin orang lain. Lebih-lebih bila pemberian doktrin tersebut dibarengi dengan penularan anggapan bahwa doktrin-doktrinnyalah yang benar, sementara yang lain salah total. Dan akan semakin tragis apabila fenomena itu diiringi dengan pelecehan agama lain.[51]

Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta berpijak pada kenyataan menurut Qurais Shihab, jalan akan dapat dirumuskan. Bukankah agama-agama monoteisme dengan sejarah ketuhanan Yang Maha Esa, pada hakikatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa atau warna kulit. Demikian ditegaskannya pula.[52]

Menurut Ahmad Najib Burhani, teosentrisme atau wacana agama tentang Tuhan hanya akan bermanfaat apabila sekaligus menjunjung tinggi tinggi martabat manusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi perbincangan verbal saja apabila tidak ada keterlibatan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global. Mengiyakan Tuhan tidak berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan pada Tuahan, tetapi komitmen dan respon ini tidak diperintahkan diaktualisasikan dalam hubungan sesama makhluk. Bahwa bertuhan justru dipihak segenap manusia, bukan hanya manusia anggota agamanya saja. Setelah menjawab sapaan Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan. Maka disarankan, keberagamaan perlu lebih humanistik-uneversal.[53]

Teologi harus lebih concern pada persoalan lingkungan hidup, tertib sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya cradible apabila dapat menolak segala sikap yang bernapaskan kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan dan pemaksaan serta mengembangkan sikap kebaikan hati, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras, gender, dan agama, keadilan, kebebasan, rasionalitas, kejujuran dan keterbukaan.[54]

Sebaliknya masyarakat yang hendak diatur oleh agama senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu bersifat dinamis. Dalam ilmu semantika disebutkan bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.[55]

Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu negara, tetapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis-multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya dikalangan umat Islam, tapi juga menyangkut umat-umat antar agama dan persoalan-persoalan non-agama.

  1. C.  Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme

Menurut Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok.[56] Di ungkapkan oleh Abdurrahman Wahid bahwa, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.[57]

Dalam kaitannya dengan bergulirnya arus globalisasi yang merambah dalam seluruh sistem termasuk dalam agama Islam itu sendiri menurut Jhon L. Esposito, akan melahirkan lapangan pengetahuan baru. Akan tetapi, studi tentang modernisasi di dalam Islam sering memuat dikotomi yang tidak bertanggung jawab: tradisi lawan perubahan, fundamentalisme lawan modernisme, stagnasi lawan progres. Bagi kebanyakan analis pihak Barat maupun pihak skularis muslim, Islam itu merupakan rintangan besar bagi perubahan politik dan sosial yang berarti dalam dunia Islam. Bagi pihak aktivis Islam, dan para mukmin lainnya, Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku.[58] Sebagi suatu sistem nilai, Islam tentu saja tidak bisa merestui suatu masyarakat yang bersifat laissez-faire. Ditegaskan oleh Fazlurrahman, dipihak lain, Islam mengetahui dengan baik bahwa pemaksaan tidak akan membuahkan hasil, bahkan tidak akan bisa bekerja.[59]

Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan  dari pada agama-agama lain.[60]

Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama.[61] Terlebih masing-masing agama memiliki identitas sebagi simbol dan pesan agama tidaklah secara seimbang ditangkap dan ditafsirkan oleh berbagai lapisan sosial. Demikian dinyatakan Taufiq Abdullah.[62]

Jiwa toleransi beragama dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut:

  1. Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain.
  2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.
  3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.
  4. Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan.
  5. Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi beragama.
  6. Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Mungkin hal-hal ini dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam masyarakat kita sekarang.[63]

Dengan upaya menjunjung tinggi nilai dan semangat pluralitas tersebut, maka diharapkan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang besar. Oleh karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Fazlurrahman bahwa, setiap peradaban besar mengembangkan beberapa ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khs itu menjadi kebajikan khusus karena mereka muncul untuk menyumbang terhadap ekspansinya, tetapi ketika peradaban itu mencapi puncaknya ciri-ciri itu kembali dipermasalahkan.[64]

  1. D.  Pro-kontra Tentang Pluralisme

Nur Khalik Ridwan berpendapat, bagi pegiat wacana pluralisme, mereka memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika.[65]

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datang dari luar Islam.[66]

Disamping itu akhir abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan-perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut menurut Bachtiar Effendi, telah menghadapkan masyarakat agama kepada suatu kesadaran kolektif terhadap penyesuaian struktural dan kultural.[67] Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara menyenangkan di sebuah negara.[68]

Namun bagi mereka yang begitu mencurigai akan bahaya pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Maka menjadi penting menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan protestanistik yang kini digandrungi sebagi Muslim sangatlah begitu pelik. Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.

Anas Malik Toha mensinyalir, sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama. Demikian dikatakannya.[69]

Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik (politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.[70]

Dalam konteks Indonesia, pikiran yang mengaggap semua agama itu sama sebenarnya telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Umat Islam seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Dalam Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama’ Indonesia, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa, dimana sejak berdirinya MUI belum pernah mengeluarkan fatwa sebanyak itu.

Menurut Frans Magnis, teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimondo Panikkar (Katolik), adalah tokoh dengan paham yang menolak ekslusifisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar dari pada yang lain-lain.[71]

Disisi lain bagi mereka yang pro terhadap pluralisme memaknai dikatakan Nur Khalik, pluralisme adalah sebauah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragamaan, heterogenitas dan kemajmukan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara, dalam pluralisme, perbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk hemogenitas, kesatuaan, tunggal, mono dan ika.[72]

 

  1. E.   Wacana Pluralisme di Indonesia

Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman pluralisme, bersama liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005, alih-alih masyarakat serentak menyetujui, tidak sedikit terutama dari kalangan intelektual muslim sendiri yang malah memberikan respons secara kritis sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut. Artikel yang bernuansa menolak terhadap fatwa MUI meluncur deras di beberapa media massa.[73] Sebut misalnya artikel yang ditulis M. Dawam Rahardjo, Mengapa Semua Agama Itu Benar?[74]  (Tempo, 1 Januari 2006). Dalam artikelnya itu, M. Dawam Rahardjo coba memaparkan beragam perspektif tentang pluralisme. Poin penting dari penelusuran M. Dawam Rahardjo adalah, ternyata pluralisme tidak bisa digiring hanya dalam suatu perspektif sebagaimana yang menjadi dasar pertimbangan MUI.

Dalam menghadapi keragaman, kata M. Dawam Rahardjo, kita membutuhkan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with plurality). Tentu akan menyulitkan jika di satu pihak pluralitas diterima sebagai suatu realitas sedangkan di pihak lain, pluralisme ditolak sebagai suatu paham. Respons kritis terhadap fatwa MUI, lebih-lebih yang berhubungan dengan pluralisme, tidak hanya ramai pada awal-awal keluarnya fatwa.

Beberapa media massa rupanya menganggap perbincangan seputar pluralisme tetap memiliki aktualitas sehingga artikel yang memberikan sorotan kritis terhadap fatwa MUI dimunculkan. Satu bulan sejak fatwa itu di umumkan, Kompas misalnya menurunkan dua artikel tentang pluralisme dalam rubrik Bentara. Artikel pertama berjudul, Agama Tanpa Sosiologi Agama: Meninjau Wacana Pluralisme di Indonesia, ditulis oleh Martin Lukito Sinaga (4/3/2006). Artikel kedua, Membaca (Kembali) Politik Pluralisme: Catatan untuk Martin Lukito Sinaga, ditulis Trisno S. Sutanto (1/4/2006). Baik Martin Lukito Sinaga, maupun Trisno S. Sutanto, sama-sama menyayangkan kemiskinan perspektif di Indonesia dalam melihat dan membedah pluralisme seperti pada kasus fatwa MUI yang memantik kontroversi.

Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme terutama yang terkait dengan agama seakan ditaqdirkan selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama.

Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman manusia.

Konsep jarak sosial biasa dipakai dalam sosiologi untuk menggambarkan tingkat penerimaan yang berpengaruh terhadap pola interaksi seseorang dengan orang lain. Oleh karena sejak dari pemahaman telah terjadi teritorialisasi, maka pada masingmasing kelompok agama merasa enggan melakukan interaksi sosial secara terbuka. Dari tilikan terhadap sisi problematik dalam keragaman agama, masyarakat agama sebenarnya membutuhkan pluralisme agar hubungan antarumat beragama terhindar dari dirharmoni dan konflik. Pernyataan ini memang tidak sejalan dengan pendirian MUI yang justru menolak pluralisme. Dalam konteks kehidupan beragama, MUI memaknai pluralisme (agama) sebagai paham yang menganggap semua agama sama. Dari pemahaman ini lalu berkembang logika begini: pluralitas yes, pluralisme no!. Tidak sedikit di kalangan Islam yang sepaham dengan logika ini. Padahal, logika ini jelas mengandung kerancuan (fallacy). Mana mungkin menyikapi pluralitas tanpa memiliki sandaran pada salah satu perspektif pluralisme. Secara akademik pandangan MUI dapat dipersoalkan mengingat pemaknaan terhadap konsep pluralisme tidak tunggal.

Dalam pengertian generiknya, pluralisme merupakan pandangan yang mengafirmasi dan menerima keragaman (http://en.wikipedia.org). Situs ini juga mengemukakan penggunaan istilah pluralisme dalam agama (pluralisme agama) yang diartikan sebagai relasi damai antaragama yang berbeda. Jika bertolak dari pengertian tersebut, maka ada dua hal yang ditekankan dalam pluralisme agama. Pertama, pengakuan sekaligus penerimaan terhadap keragaman termasuk dalam agama. Keragaman agama merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Munculnya berbagai agama pada masa sebelumnya secara historis tidak bisa menghapus agama yang muncul pada masa sesudahnya. Begitu juga sebaliknya. Fakta ini meniscayakan adanya suatu pengakuan terhadap keragaman. Kedua, perlunya mengembangkan relasi damai dengan kelompok agama lain. Bahwa pada masing-masing agama terdapat perbedaan terutama pada ranah eksoterik, agaknya telah menjadi kesadaran semua pemeluk agama. Cara beribadah antara pemeluk Kristen tentu berbeda dengan pemeluk Hindu, Budha, Yahudi, Islam, dan lain sebagainya. Pada masing-masing agama juga terdapat perbedaan dalam membahasakan istilah-istilah kunci yang berkaitan dengan dimensi kemutlakan seperti Tuhan dan kehidupan eskatologis.

Tetapi perbedaan pada ranah eksoterik tidak perlu dijadikan penghalang untuk mengembangkan relasi damai. Sebab, di balik perbedaan eksoterik, masing-masing agama diperjumpakan dengan visi perenial yang sama. Apa pun agamanya, bisa dipastikan memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan. Semua agama juga menekankan kepasrahan terhadap apa yang kita sebut dengan Tuhan. Poin-poin inilah yang memungkinkan adanya perjumpaan, dan bahkan kerja sama, antar-umat beragama, tanpa merasa perlu mempertukarkan keyakinannya. Wacana semacam ini berkembang cukup pesat di tanah air sejak 1990-an. Penelitian ini ingin merekontruksi wacana tersebut.

BAB III

BIOGRAFI INTELEKTUAL DAN POLITIK HASYIM MUZADI

 

  1. A.  Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi

Hasyim Muzadi adalah termasuk salah satu seratus tokoh nasional Indonesia paling berpengaruh dipanggung politik nasional saat ini dan diprediksi akan mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menentukan konfigurasi politik bangsa di masa-masa yang akan datang.[75] Hasyim Muzadi merupakan tokoh terpandang di negeri ini dan saat ini ia masih menjadi Rais Syuriah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang memiliki basis terbesar di negeri ini.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa Hasyim Muzadi diakui kapasitas, kapabilitas dan ketokohannya oleh publik baik dibidang pemikiran ataupun sepak terjang politiknya. Sehingga Hasyim yang lebih akrab dengan panggilan kiai Hasyim menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia saat ini. Tentunya hal itu tidak semata-mata karena ia pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), akan tetapi karena komitmen dan kontribusi ide-ide kebangsaan dan pergulatan panjangnya dalam sejarah gerakan politik yang diawali sejak masih muda.

Untuk mengurai dan membaca karakter pemikirannya secara detail diperlukan penelusuran yang mendalam atas latar teoritis dan latar belakang sosio-kultural, pendidikan dan pengalaman dibidang organisasi, serta tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam membentuk gugusan pengetahuan personalnya yang nantinya banyak menyumbangkan dan mengilhami pandangan-pandangannya dalam bidang politik.

Hasyim Muzadi dilahirkan di Tuban pada tanggal 8 Agustus 1944, dari pasangan Muzadi dan Rumiyati. Ia merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Secara geografis Tuban terletak dibagian Utara Pulau Jawa, tepatnya perbatasan Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro. Di daerah inilah ia menghabiskan masa kecilnya.

Hasyim menikah dengan Muthomimah dan dikaruniai 6 anak, yakni 3 putra dan 3 putri. Di masa kecilnya ia berada dalam kehidupan yang tidak serba berkecukupan sehingga ia menjadi sosok pribadi yang pantang menyerah. Tak heran jika anak ke-tujuh dari delapan saudara ini mencanangkan kalimat “Tiada hari tanpa perjuangan”, sebagai motto hidupnya.[76]

Kiai Hasyim, begitu akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di tanah kelahirannya Tuban pada tahun 1950-1953 lalu ia pindah ke Sekolah Dasar (SD) Tuban sampai lulus pada 1955. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kota yang sama hanya menempuh satu tahun yakni dari tahun 1955-1956. Lalu ia pindah ke Pondok Pesantren Gontor dengan menempuh pendidikan KMI selama enam tahun tercatat dari 1956-1962. Lulus dari Gontor ia pindah ke Pondok Pesantren Senori Tuban tak lama kemudian ia pindah ke Pondok Pesantren Lasem pada tahun 1963. Setelah ia selesai berkeliling dari satu pondok ke pondok yang lain ia melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang dari tahun 1964-1969. Sedangkan pendidikan non-formalnya ia tempuh di Pondok Pesantren Gontor dan tamat pada tahun 1963.

 

  1. B.  Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi

Semenjak duduk dibangku kuliah, ia mulai mengenal berbagai tokoh politik mulai dari tokoh-tokoh dunia hingga tokoh politik nasional, dari yang klasik sampai kontemporer. Pada fase ini, Hasyim berkenalan dengan beragam pemikiran politik mulai dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.

Keterlibatan Hasyim dalam medan politik pergerakan dimulai sejak ia menginjakkan kaki di bangku kuliah, ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) komisariat IAIN Malang. PMII[77] adalah salah satu organ gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi gerakan mahasiwa yang ada di Indonesia yang memiliki kedekatan sosio-kultural dengan Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi inilah Hasyim mulai bergelut dengan berbagai persoalan kebangsaan dan terlibat langsung dalam konfrontasi gerakan mahasiswa dengan Orde Lama yang sedang harmonis dengan kelompok komunis.

PMII yang baru seumur jagung pada masa itu sangat gencar sekali melakukan gerakan anti-komunis. Bahkan melancarkan gerakannya lewat demontrasi-demontrasi di jalan. Sehingga PMII meski berada dibawah naungan NU namun, telah menunjukkan karakternya sebagai the agent of control.

  1. C.  Karier Organisasi dan Politik

Hasyim dikenal sebagai sosok yang sangat tulus memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim cukup nasionalis dan pluralis. Apa saja yag dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukannya.[78] Karakter tersebut ia bangun semenjak dalam organisasi kepemudaan seperti gerakan pemuda Anshor[79] dan organisasi kemahasiswaan, yakni PMII. Hal inilah yang menjadikan modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.[80]

Kiprah organisasinya mulai dikenal sejak tahun 1992 ketika ia terpilih menjadi ketua pengurus wilayah NU Jawa Timur. Posisi ini mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1999. Sebagai organisasi keagamaan yang terbesar di tanah air ini, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun juga menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim tidak bisa mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat suami dari Hajah Muthomimah ini pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986. Karena itu partai Islam hanya diwakili satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, jabatan sebagai ketua PBNU-lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan wilayah aktivitas alumni Ponpes Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang dengan modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki Pesantren Al-Hikam Malang yang menampung ribuan santri.

Kiprah Pak Hasyim dalam memimpin NU tidak kalah beratnya dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Semisal, dibandingkan dengan kepemimipinan Abdurrahman Wahid yang telah akrab dibanding Gus Dur, NU dibawah kepemimpinannya terakhir berduet dengan KH. Ilyas Ruhiat, pengasuh Ponpes Cipasung Tasik Malaya Jawa Barat sebagai Ra’is Aam harus berhadapan dengan pressure penguasa Orde Baru. Sedangkan di era kiai Hasyim, tekanan terhadap NU terjadi justru karena membela Gus Dur dari gempuran konspirasi elit politik yang berupaya keras menggulingkannya dari kursi Presiden Republik Indonesia. Pembelaan NU bukan semata-mata posisi Gus Dur sebagai presiden, melainkan lebih memilih pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan Gus Dur.[81] Kedua pemimpin NU tersebut memiliki karakteristik pemikiran yang berbeda pula. Ketika Presiden Gus Dur diguncang konspirasi elit politik mau tak mau NU dibawah naungan Hasyim Muzadi ikut pula tergoyang. Begitu goncangan semakin kuat, NU pun ikut tergoyang kuat. Namun, ketika Gus Dur dilengserkan, NU harus bersikap tetap utuh dan bermakna sebagai perekat umat dan bangsa. Sebagai penyangga yang kokoh bagi negara hukum dan pengawal yang setia atas wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Integritas Hasyim yang lintas sektoral diuji. Ijtihad politik pria berusia 60 tahun ini yang menerima lamaran PDI Perjuangan[82] untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) di pemilu 2004, yang merupakan bagian dari sosok dirinya yang moderat. “saya ingin menyatukan antara kaum nasionalis dan agama”, ujarnya ketika berorasi dalam deklarasi pasangan capres dan cawapres Mega-Hasyim.[83] Walaupun tidak sedikit yang mencibir dan menyayangkan langkah Hasyim yang terjun ke politik praktis, termasuk dengan pewaris darah biru kaum Nahdliyin, Gus Dur. Bahkan langkah politik pria yang selalu berpeci ini telah menguak perseteruan dirinya dengan Gus Dur yang telah terpendam lama. Namun, diatas segalanya, hanya Hasyim yang tahu persis, maka di balik langkah politik menuju kursi kekuasaan yang dulu dirintisnya.[84] Secara politis kemenangan kubu Hasyim Muzadi sebagai pejabat PBNU tertransisi telah mengerahkan pengaruhnya. Sebagai hal ini berhasil men-setting ulang posisi politik organisasi yang didirikan KH. Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain pada tahun 1926.

  1. D.  Karya-karya Hasyim Muzadi

Dalam penelusuran penulis karya-karya Hasyim Muzadi tidak terlalu ditemukan. Ada empat karya yang telah diterbitkan menjadi buku. Buku yang pertama, Membangun NU pasca Gus Dur (Jakarta: Grasindo, 1999). Buku ini merupakan bangunan gagasan yang mencoba untuk melakukan peneropongan dan terobosan baru terhadap organisasi yang digelutinya. Ide-ide terkait pembangunan NU ia ulas dalam karya tersebut. Meski buku ini lebih tepat dikatakan sebagai promosi gagasan untuk mencalonkan diri dalam Muktamar NU. Kendati demikian, promosi karya ini menjadi sisi lain dari Hasyim yang juga mengantarkannya menjadi orang nomor satu di NU.

Buku kedua, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta: Logos, 1999). Buku ini membahas sederet pelbagai persoalan yang kini dialami NU. Dimana kelahirannya sebagai organisasi keagamaan dan banyak dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap meluasnya pengaruh gerakan pembaharuan yang dimotori kelompok Islam modernis. Namun, lambat laun pada perjalanan kemudian NU seakan tak sanggup mengelak dari tuntutan zamannya yang menghendaki pengambilan peran aktif dalam wilayah politik, bahkan terkadang mengharuskan bersinggungan dengan panggung elit kekuasaan-kekuasaan.

Menyembunyikan Luka NU, (Jakarta: Logos, 2002). Buku yang ketiga ini mengulas tentang peristiwa-peristiwa yang menimpa NU. Dimana salah satu tokoh kader NU yakni Gus Dur secara mengejutkan telah terpilih menjadi Presiden Republik ini. Sayang saat masa kepemimpinannya tidak berjalan lama karena dikudeta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pengkudetaan Gus Dur dari kursi presiden yang telah dilakukan oleh elit-elit politik berdampak trhadap NU. Sebab peristiwa tersebut telah menyulut bara kemarahan warga NU di berbagai daerah yang tidak terima akan pencopotan Gus Dur dari kursi presiden. Pada saat itulah oragnisasi NU mendapat guncangan keras dari berbagai kalangan non-NU dengan menuduh bahwa NU telah menyulut perpecahan di bumi perttiwi ini.

Lewat karya tersebut Pak Hasyim mencoba mengurai persoalan yang telah menimpa NU sebagai bagian dari bangsa yang juga memiliki tanggung jawab akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain kehadiran buku tersebut merupakan klarifikasi akan peristiwa-peristiwa yang telah memojokkan NU sebagai kambing hitam dari perpecahan bangsa. Buku keempat, Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa (Jakarta, 2004). Karya ini menjelaskan tentang bagaimana membangun bangsa dan negara Indonesia yang beradab, berkeadilan, bermartabat, dan religius. Selain itu, ia juga ingin mengajak anak bangsa bersama-sama membangun Indonesia menumbuhkan rasa percaya dan meninggalkan berbagai purbasangka yang hanya akan merugikan negara ini.

Dalam buku ini ia ingin menegaskan bahwa pembangunan bangsa tidak bisa dipikul atau menjadi tanggung jawab satu kelompok saja, tapi harus menjadi komitmen dan tanggung jawab segenap warga negara. Karya ini juga membahas berbagai persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia dalam melanjutkan proses pembangunan. Tak lupa bahwa buku ini lebih mengetengahkan masalah-masalah sosial keagamaan yang tidak terlepas dari kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat dan ulama.

BAB IV

PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG

PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

 

  1. A.       Pemikiran Pluralisme Hasyim Muzadi

Untuk mengawali uraian dalam bagian ini, penulis mengutip beberapa poin dari salah satu tulisan Hasyim Muzadi yang mengatakan:

“Setidaknya ada empat pilar yang mendesak digarap dalam mukhtamar ini. Pertama, pilar pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Ini faktor  mendasar. Ini betul-betul harus mendapatkan prioritas, ini bukan seperti NU ini meninggalkan pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Tetapi bagaimana cara  beragama yang optimal fi aldunya hasanah dan wafil akhirotil hasanah. Jadi bagaimana kita beragama melahirkan kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Bagaiman lahir generasi yang solihun lidinihi tetapi juga solihun lizamanihi. Soleh terhadap agamanya tetapi juga soleh terhadap tingkat perkembangan zamannya”.[85]

Selanjutnya ia mengatakan :

“Pilar kedua, perumusan dan pembakuan tentang hubungan agama dan negara. Embrionya sudah ada sejak muktamar ke-27 di Situbondo. Tetapi dalam konteks kekinian perlu ada penajaman kembali dan pengembangan lebih lanjut. Terutama dalam fenomena, dimana sekarang banyak ekstrimitas yang menggunakan label agama dan kemudian menciptakan disintegrasi antara agama dan negara. Dalam kondisi seperti ini, maka konsep NU yang terkenal moderat sangat relevan di dalam meletakkan agama dalam sistem pluralisme Indonesia. Tingkat moderasi NU dilihat dari kerangka ajarannya yang meletakkan hubungan agama dan negara yang substansial inklusif”.[86]

Disisi lain, Hasyim sebagai tokoh yang peduli dengan kondisi Indonesia dan Islam tentunya memiliki pemikiran sebagai representasi dari pemikiran Islam sekaligus yang membedakan antara pemikirannya dengan para pemikir lainnya sesuai semangat zamannya, maka untuk memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud pemikiran Islam alangkah baiknya jika menilik tulisan dari Muslim Abdurrahman yang mengatakan:

“Berbeda dengan ulama yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”. Mereka, dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptualis tidak lagi mengalirkan pesannya yang mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini (sebagai anak zamannya), sesungguhnya memiliki kreatifitas sejarah, yang dapat melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan “formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebatas kegiatan rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk menghidupkan inovasi, kreatifitas, dan perubahan”. Oleh karena itu, “Berpikir Islami” merupakan sebuah pencarian makna keIslaman yang masuk akal. Kitab suci al-Qur’an dan sunnah, bukanlah memuat gagasan yang serba ada, atau merupakan sebuah “impian surga” yang sudah sempurna. Hubungan kitab suci dan warisan tradisinya (turast) sebagai petunjuk kehidupan memerlukan pembacaan yang terbuka, karena kaum muslimin menjumpai zaman dan lokus kebudayaan yang berbeda-beda”.[87]

Selanjutnya mengatakan:

“Berpikir Islam yang terbuka dan berwatak transformatif, sekali lagi memang lain dibandingkan dengan semangat mencari “Jawaban Islam” yang khas untuk disandingkan dengan pemikiran yang lainnya sebagai alternatif. Dalam pemikiran Islam yang “bebas”, kaum muslimin diluar kesadaran komunitsnya harus benar-benar menjadi manusia, seperti halnya manusia yang lainnya, dengan kebebasan berpikir-sekuler. Kendatipun mereka betulk-betul hidup dalam suasana moral dan emosi spiritual yang religius, namun dalam bernegara, demokrasi, dan ber-civil society, tentu tidak harus mempertanyakan terlebih dahulu, adakah dan dimanakah rujukan agamanya, karena hal-hal seperti itu merupakan bagian dari komitmen nilai hudup bersama dengan orang lain dan tentu saja semata-mata merupakan wilayah politik yang imajinatif. Corak berpikir Islam seperti ini, adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural dan harus dilakukan. Pertama, karena imajinasi politik seperti itu memang merupakan kebutuhan kontemporer yang belum pernah terpikirkan oleh para pemikir Islam skolastik. Kedua, orang Islam sekarang hidup dalam peradaban yang kesadarannya tidak mungkin bisa dibatasi oleh entitas yang singular akibat munculnya gejala “pinjam-meminjam” gagasan kemanusiaan yang sangat terbuka dewasa ini. Oleh karena itu, tidak mungkin kaum muslimin hidup dalam syari’ah dan keumatannya sendiri tanpa mempertimbangkan dirinya dalam kehidupan individu dengan orang lain, dengan negara dan sebagai warga negara yang luas”.[88]

Dari tulisan di ataslah penulis terinspirasi dan bermaksud menjelaskan posisi pemikiran (Islam) khususnya pemikiran Hasyim Muzadi, dan kemudian yang ingin penulis pertegas terlebih dahulu adalah makna pemikiran Islam. Fakhri Ali dalam salah satu tulisannya sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi mendefinisikan pemikiran Islam sebagai “refleksi” intelektual yang sistematis dalam menanggapi permasalahan individual, sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan dari perspektif ajaran Islam.[89]

Definisi tersebut dapat kita terima dengan dua catatan. Pertama, bahwa pemikiran Islam tersebut tidaklah terkooptasi atas kepentingan tertentu serta sebagai suatu yang memang terbuka menerima ruang dialog terhadap bentuk perubahan yang berlangsung. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai basis perubahan, di mana pendidikan yang matang akan melahirkan intelektual Muslim.

Hasyim dikenal sebagi sosok kiai yang memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal “nasionalis dan pluralis”.[90] Hasyim Muzadi mengatakan bahwa munculnya konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik menyangkut antar agama, ia mengatakan NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin masalah itu diselesaikan hanya dengan peran satu kelompok saja. Bila konflik itu ingin dituntaskan, maka harus melibatkan keduanya itu.[91]

Ketika terjadi peristiwa ditabraknya WTC 11 September 2001 yang memunculkan tuduhan AS langsung terhadap gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaringan Al Qaeda posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalannya selesai. Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan duni luar secara intensif, tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indoinesia dengan internasional dan AS, maka hal itu makin positif. Apalagi, ditengah keterpurukan ekonomi, sosial dan keamanan di Indonesia saat ini kerjasama internasional jauh lebih berfaidah dari pada keterasinagan internasional.[92]

Selanjutnya sebagi respon tindak lanjut dari pernyataan Hasyim di atas, ia pun menjadi tokoh yang mendapat undangan pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga besyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar. Beliau memberikan gambaran bahwa, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat bersifat kultural, dan domestik, serta tak kenal jaringan kekerasan internasional.[93]

Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, betapa pun jumlah dan kekuatannya Cuma segelintir, Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Tidak boleh sekali-kali menggunakan represi. Bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan radikalisme betulan. Sekali AS bertindak, seperti dilakukannya di Afganistan atau negara-negara Timur Tengah, dengan intervensi langsung, hasilnya bisa ruyam. Indonesia tidak bisa dipukul rata dengan timur tengah atau negara-negara lain.[94]

Selanjutnya Hasyim menyarankan, alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan adalah supaya pendekatannya dengan cara pendekatan pendidikan. Kultural, dan sosial problem solving. Dengan cara demikian, maka gerakan-gerakan kekerasan akan hilang.[95] Pada kesempatan lain ketika terjadi konflik Sunni-Syi’ah yang terjadi di Jawa Timur, Hasyim berpesan agar kelompok tetap pada keyakinan masing-masing, serta tetap menjaga keseimbangan dan toleransi kepada kelompok lainnya.[96]  Itulah sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasioanal bawa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensasi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan penulisan pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi, penulis menemukan paling tidak ada tiga pandangan penting beliau yang bisa ditangkap, yaitu prinsip Islam Rahmatn Lil ‘Alamin sebagi solusi alternatif atas persoalan bangsa dan dunia selama ini, pendekatan dialog peradaban, dan pluralisme sebagai Humanisme.

  1. 1.        Islam Rahmatan lil Alamin

Warna keberagamaan (Islam) yang “khas” masyarakat di Indonesia tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran penomena radikalisme beberapa tahun terakhir ini. Ditengah serbuan berbagai arus informasi, pemikiran dan idiologi yang masuk ke nusantara, saatnya NU sebagai organisasi yang sejak awal menempatkan diri sebagai subyek kebangsaan dengan misi sosial keagamaan yang memiliki ciri fakih fi mashalalihi-l-khalqi  yakni yang selalu berpikir tentang kemaslahatan umat manusia merekonsepsi ulang gerakannya. Sejak berdiri tahun 1926 permasalahan yang menjadi tantangan NU adalah tantangan global yaitu dengan bangkitnya faham fundamentalisme agama dengan menggunakan baju wahabi dan puritanisme, dan kolonialisme yang merajarela dengan mengeksploitasi kekayaan bangsa-bangsa muslim dengan gagasan modernisasi dan liberalisasi sebagai pintu masuknya.

Dengan dua tangan besar tersebut mengharuskan NU menampilkan dirinya sebagai gerakan para ulama yang berfungsi menjaga keutuhan bangsa serta melakukan perbaikan-perbaikan kemasyarakatan melalui media pesantren. Namun di era reformasi saat ini, NU dihadapkan dengan tanggungjawab kebangsaan (mas’uliyyah wathaniyah) diamana kekuatan Islam radikal dan ideologi neo-liberalisme mendominasi dalam identitas bangsa kita, yang patut dikhawatirkan adalah jika bangsa Indosesia samapai tercabut akar nilai kebangsaannya yang di dalamnya memuat kultur, sosial-budaya dan nilai-nilai yang lain.

Kekuatan globalisasi dan liberalisme gencar dalam usaha perang melawan gerakan terorisme dengan mendengungkan toleransi, pluralisme dan liberalisme sebagai jargon-jargonnya. Sementara kelompok Islam radikal berbicara tentang permunian agama dan puritanisasi tatanan sosial politik Indonesia dengan mengabaikan identitas Islam sebagai agama dan Indonesia sebagai sebuah negara, dan pesantren sebagai akar kelahirannya menjadikan Nahdatul Ulama hadir dan dikenal sebagai organisasi masyarakat Islam yang berwatak kebangsaan dimana watak tersebut melekat pada sejarah dan jati dirinya. Namun sejauh ini ciri khas NU hanya dilihat dan manifestasinya dalam bentuk toleransi dalam kehidupan beragama, padahal paham tersebut hanya salah satu ekspresi paham kebangsaan NU.

Selain itu, jiwa kebangsaan NU adalah watak kejiwaan patriotis yang mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya dan unsur kelokalan lainnya.

Dengan kondisi seperti itulah yang menjadikan bangsa kita diperhitungkan dihadapan bangsa lain dengan memunculkan gerakan anti telorisme yang mengusung pluralisme liberalisme, dan sebagainya sebagai bahan kampanye. Disisi lain muncul gerakan “al-ghazwul fikri” (invasi pikiran) yang diusung oleh kelompok Islam garis keras, akibatnya agama menjadi bahan untuk dieksploitasi dimana sebetulnya kedua paham tersebut berusaha sama-sama menampilkan penyeragaman cara berpikir dan tentunya hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan nalar dan tradisi kebangsaan bangsa Indonesia.

Kalangan Nahdatul Ulama dan umat Islam Indonesia pada umumnya sudah terbiasa dengan model keagamaan yang rukun dan damai. Dan itu sudah ditanamkan dalam lingkungan kebudayaan yang khas Indonesia. Oleh karenanya, masyarakatpun kemudian tahu dan sadar bahwa cara beragama kelompok-kelompok tersebut ternyata mirip barang impor, yang tidak sesuai dengan akar dan tradisi kultur masyarakat Indonesia yang moderat dan tidak ekstrim.

Kelompok-kelopok ini datang dan baru belajar dari arab saudi dan sejumlah negara di timur tengah, mereka lalu menerapkan cara beragama yang mereka adopsi dari Arab Saudi dan Timur Tengah untuk diterapkan di Indonesia dengan dibantu oleh teknologi informasi serta kekuatan petrodolar negara-negara Arab yang kaya akan sumber minyak. Maka munculah yang dinamakan “formalisme Islam”.

NU selalu mengingatkan semua pihak untuk bersama-sama memperkuat peran negara dalam memenuhi tanggungjawab untuk mensejahterakan rakyat, dan dalam waktu bersamaan, juga memperkuat hak-kah warga negara. Sehingga pemenuhan nashalikurra’iyah sebagai cita-cita sosial umat Islam, muncul sebagi natijah (resultante) dari pemenuhan keajaiban negara atas tuntutan hak-hak masyarakat.

Yang perlu untuk dipahami bersama disini adalah munculnya persoalan umum yang didukung adanya agama yang berbeda-beda serta pemahaman agama yang beraneka ragam maka akan menghasilkan suatu respon yang berbeda-beda pula, dimana menurut David Litle, John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, perbedaan-perbedaan tersebut akan membentuk perbedaan-perbedaannya yang penting dan wilayah-wilayah perdebatan antara mereka.[97]

Maka bagi NU mengutip pendapat Imadun Rahma, maenstream pemahaman keagamaan yang dianut mayoritas umat dinilai bukan merupakan pemahaman yang benar, karena berbeda dengan Islam yang ideal yang dicontohkan oleh salaf alshalih. Keunikan ekspresi keberislaman masyarakat Indonesia ini dinilai oleh orang yang mengklaim Islam paling benar sebagai “kejahiliyahan modern” yang jauh dari nilai-nilai Islam yang benar, otentik dan asli. Otentisitas (ashlah) Islam hingga ketika ia telah dicampuri oleh unsur luar. Islam Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak ia mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial-politik lokal. Masuknya warna budaya lokal dipandang melahirkan bid’ah atau khurafat. Oleh karena itu, Islam Indonesia harus di Islamkan kembali dengan panji-panji puritanisasi dan pemurnian. Unsur-unsur lain yang mengotori Islam adalah adanya dialog dengan gagasan-gagasan Barat modern. Konsep kedaulatan rakyat, demokrasi, nation state konstitusi model barat dan sebagainya adalah penyakit-penyakit yang menggerogoti tidak saja kemurnian Islam tetapi juga keberadaannya.[98]

Dalam menjembatani persoalan tersebut, ada satu harapan besar dari publik agar Islam Rahmatan lil al’amin dapat diterjemahkan dalam sosial kemasyarakatan khususnya dalam hal kontribusinya sebagai penyelesai konflik global yang terjadi selama ini yang berpengaruh terhadap sistem dan sendi kehidupan. Dalam pandangan Kiai Hasyim agar Islam bisa mewujud menjadi Islam yang rahmatan lilalamin harus bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan ketakwaan dalam arti agama hendaknya diposisikan dalam dimensi kemanusiaan secara proporsional yang nantinya akan membentuk keshalihan sosial bukan keshalihan individual. kedua hal tersebut pada tataran praktisnya saling berkait, saling mengisi yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.

Dengan konteks persoalan tersebut, kiranya dinamika keberislaman yang sangat menggairahkan ini menurut A.M. Turmudzi, arus utamanya harus diarahkan pada hal-hal berikut:

  1. Umat Islam harus menghadapkan kesadarannya tidak semata kepada problem keIndonesiaan saja, tetapi harus memperluas Concern-nya kepada masalah global-mondial, dan keterkaitan antara keduanya. Dengan begitu jawaban lokal kitapun, tetap berwawasan global. Berkaitan dengan ini intelektualitas muslim Indonesia harus aktif menggabungkan diri dengan arus intelektualisme Islam internasional.[99]
  2. Upaya pencerdasan kehidupan umat Islam harus lebih sungguh-sungguh. Umat Islam harus didorong untuk berjuang menguasai ilmu dan teknologi, serta menerjuni segala sektor kehidupan modern, agar terkuasai seluruh idiomnya. Hanya dengan cara demikian umat Islam dapat memiliki power untuk memimpin peradaban. Tetapi berbarengan dengan ini, upaya Islamisasi dan atau penggalian ilmu-ilmu yang orisinal Islam haruslah dilakukan. Pembahasan mengenai rumusan sistem-sistem sosial, ekonomi politik yang Islami perlu dipertajam. Ini dikarenakan kita tidak hendak mengafirmasi dan melarutkan diri dengan idiom-modernitas, lebih-lebih lagi terhadap sistem sosial yang eksploitatif. Bebarengan dengan itu pula perlu dikembangkan kritisme atas paham dan praktek keberislaman warisan masa lalu, dalam seluruh seginya.[100]
  3. Pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang mutlak perlu untuk mendorong terciptanya masyarakat etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai pembangunan dan perubahan sosial ini, maka amat penting para intelektual Islam  lebih mempervokal advokasinya atas kelompok masyarakat lemah yang terkorbankan dalam peroses pembangunan, memperkeras suara kritik terhadap budaya yang mendemoralisasi masyarakat dan bertentangan dengan hati nurani rakyat, dan lebih memperkeras dorongan terhadap peroses demokratisasi politik dan ekonomi, terutama dalam politik distribusi hasil-hasil pembangunan.[101]
  4. Perlu dikembangkan teologi Islam yang memandang pentingnya dimensi tasawuf. Ini sangat penting, karena dua hal. Pertama, bertapa bahayanya akal kecerdasan, ilmu dan teknologi jika dimainkannya tidak didorong dan dibimbing oleh motif-motif rohani yang bersih. Kedua, pemikiran keagamaan kaum fuqoha’ yang memperlakukan agama lebih sebagai hukum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkan menjadi semacam ideologi, ternyata kurang memperhatikan dimensi batin atau kedalaman, yang sesungguhnya menjadi inti keberagamaan.[102]

 

  1. 2.        Pluralisme Teologis dan Sosiologis

Menurut Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama di Indonesia adalah pluralisme sosiologis bukan plurarisme teologis. Pluralisme teologis justru merugikan teologi semua agama. Tidak ada keimanan atau keyakinan “tahu campur” dalam agama. Konsep pluralisme mengemuka menyusul meninggalnya KH Abdurrahman Wahid yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Bapak Pluralisme.

Menurut Hasyim, masalah teologi dan ritual (transenden) adalah hak original agama masing-masing yang tidak boleh dicampuri dari luar. Sehingga doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, namun sekedar tempat dan waktu yang bersamaan.

Sedangkan pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan “umat” beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity and diversity, karena setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu. Menurut Hasyim, hal yang ia sampaikan mengenai pluralisme itu telah disampaikan dan disepakati melalui utusan ICIS saat berada di Vatikan, Wina, WCC/Kristen di Porto Alegre Brazilia dalam Assembly ke-9 tahun 2006, dan dengan Katolik Ortodox di Moskow dan para biksu di Thailand.[103]

  1. 3.        Pendekatan Dialog Peradaban

Pertengkaran yang terjadi antara dunia Timur dan Barat terutama pasca terjadinya serangan WTC yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab telah menumbuhkan keprihatinan dari berbagai kalangan. Muhadjir Darwin berpendapat, posisi dan peran agama menjadi serba paradoks jika persoalannya diperluas dalam isu-isu demokrasi, humanisme, dan semacamnya. Belum lagi persoalan pluralitas dimana yang cara anti-pluralitas yang dibawa karena politik maka yang terjadi kemudian adalah perilaku yang ekslusif, yang cenderung mendiskriminasikan terhadap hak politik warga negara lain yang mempunyai agama yang berbeda.[104]

Maka kiai dengan melihat kenyataan akan kondisi agama yang kehilangan watak positifnya juga ketegangan antara Timur dan Barat, kiai Hasyim berinisiatif melakukan sebuah upaya tertentu perlu diusahakan untuk meredam konflik kedua belah pihak.

Sejumlah konsep diusahakan untuk mengatasi ketegangan tersebut. Untuk mencapainya dari pihak Islam dan kaum muslimin harus berani melakukan terobosan-terobosan yang lebih berani, yakni salah satunya, agama harus dikembalikan pada kedudukannya yang sebenarnya yakni sebagai pemersatu umat. Agama itu hadir tidak dipakai tujuan-tujuan kekerasan. Artinya agama harus dikembalikan ke rahmatan lil ‘alamin yaitu menjadi pedoman kehidupan yang penuh rahmat dan kasih sayang. Disinilah pentingnya dunia silam berkesempatan untuk menata diri.

Konsep Islam rahmatan lil ‘alamin  yang paling awal dilakukan menurut Ibnu Anshori, adalah melalui mar ma’ruf dan nahi munkar. Akan tetapi ketika gairah untuk nahi munkar naik, amar ma’ruf sering kali tertinggal atau bahkan energi hanya terkonsentrasi untuk nahi mukar saja. Inilah yang kemudain melahirkan persoalan baru yang mengarah memunkar-kan hal baru. Atau justru me-makrufkan sebuah kemunkaran orang yang munkar, karena salah sasaran.[105]

Ada suatu pendapat yang dikemukakan Imam al-Ghazali didalam kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa Amar ma’ruf  nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-amr bi al-ma’ruf dan adab al nahyanil almunkar. Ada tiga etika yang disampaikan oleh al-Ghozali. Salah satunya adalah memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah berbaut jahat jangan sampai menimbukan kemungkaran yang lebih besar. Fikih Islam mengenal “akhaffu aldhararain”. Maksudya, dalam kondisi yang dilematis, dimana pilihan-pilihan untuk beramal semuanya buruk maka yang dipilih adalah yang lebih sedikit bahayanya. Demikian dijelaskan oleh Ulil Abshar Abdala. Dari dua konsepsi fikih diatas menurut penulis, kiai Hasyim berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam upaya mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.

Dalam usaha mewujudkan usaha diatas, kiai Hasyim sebagimana dijelaskan Ibnu Anshori, menggelar sebuah Konferensi Internasional Ilmuan Islam Sedunia yang bekerja sama dengan Departemen Luar Negri RI. Kiai Hasyim berhasil menghimpun seluruh tokoh pemikir Islam Internasional, ulama, dan dunia barat untuk duduk dalam satu forum (majlis) membicarakan persoalan umat manusia. Kegiatan tersebut bertajuk Internasional Conference Of Islamic Scholar  atau Konferensi Internasional Ilmuan Islam yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC) tanggal 23-26 Februari 2004, kiai Hasyim menghadirkan 300 ilmuan dengan 120 diantaranya uandangan berasal dari luar negri. Dua puluh orang dan yang separuh diataranya merupakan tokoh dunia ditampilkan sebagai pembicara.[106]

Mengutip pernyataan kiai Hasyim sebagai mana sisampaikan oleh Ibnu Anshori, diharapkan dengan konferensi itu bisa meredakan ketegangan antara dunia Timur dan Barat, dengan tujuan untuk menata uamt Islam secara internasional dan melahirkan pemikiran khusus, khususnya dibidang pendidikan, ekonomi dan media.[107] Acara yang digagas kiai Hasyim ini adalah kegiatan society to society antara jam’iyah satu negara dengan jam’iayah negara lain dengan melibatkan tokoh dunia baik sebagi perorangan maupun sebagi lembaga. Hal itu dilakukan dalam kerangka untuk menghindari tarik menarik kepentingan. Sebab konflik-konflik yang mengunakan Islam itu jarang sekali yang murni dari agama. Biasanya suatu negara dengan negara lain yang kebetulan umat Islamnya banyak berperang dimana umat bernegara tersebut ikut terlibat maka agamanya juga ikut sertakan. Dengan hanya dihadiri oleh ulama’ dan tokoh pemikir berkumpul kiai Hasyim ingin meletakan agama, sebagai sumber nilai kemanusiaan, sumber persatuan dan ilmu pengetahuan serta menjadi rahmat bagi seluruh alam.[108]

Pemahaman seperti itu bukan berarti secara otomatis memisahkan antara agama dan negara, tetapi dimaksudkan supaya orang melihat hubungan antara keduanya secara propesional. Pemisahan agama dan negara merupakan konsep yang masih pro-kontra, walaupun seyogyanya harus dapat dibedakan antara posisi dan peran masing-masing.[109] 

Sesuatu yang hendak dikonsepsikan Hasyim Muzadi menurut Anshori sebenarnya hanyalah sederhana. Bagaimana umat Islam ini menjadi lebih cerdas dalam menangani setiap permasalahan yang muncul. Karena didalam situasi kemelut apapun justru yang lebih banyak adalah pihak-pihak yang menumpang dengan berbagai kepentingan, dan kemudaian menyerang Islam itu sendiri. Analisis seperti ini jarang dikatakan orang. Dalam stesel hubungan antara Barat dan Timur sejak terjadi ketegangan, dan dalam dunia pergaulan yang acak itu, membuka leher kemungkinan orang untuk menumpang kepentingan dalam mengacak-acak Islam. Maka agar tidak bisa di acak-acak dari luar, hendaknya umat Islamnya sendiri harus melihat kedalam dan bertindak dengan logika yang cerdas, sehingga kalau ada serangan yang bersifat arogan pasti akan dapat diketahui sejak dini. Sebaliknya jika pada saat umat Islam sendiri arogan, maka hal itu dijadikan sertifikasi serangan orang ghairu Islam  yang lebih hebat lagi.[110]

Mengutip pendapat Imadun Rahmat, oleh karena itu antara agama dan umat menghendaki terjadinya sinergitas dalam arah praksisnya. Agama seharusnya berperan sebagai mediator untuk meredam konflik. Salah satu fungsi agama adalah untuk menebarkan kedamaian di dunia. Islam sendiri secara generik berarti salam, damai, dan islam itu menyerah secara damai kepada Allah. Jadi, dari akar kata saja, bisa ditangkap maksud dari agama itu sendiri, khususnya Islam, yakni menebarkan perdamaian. Begitu pula dengan agama lain semisal Kristen, yang juga menebarkan kedamaian dan cinta kasih.[111]

Kenapa kemudian, sekarang ini agama justru sering kali menjadi sumber atau penyebab konflik? Menurut Imadun Rahmat lagi, hal ini sebenarnya bukan agama yang menebar konflik, tetapi orang yang memanfaatkan agama untuk kepentingan kelompok tertentu, yang mengatasnamakan agama sehingga muncul konflik. Ini adalah akibat dari proses mengagamakan atau menuhankan agama dan menjadikan agama sebagai tujuan.[112]

Yang sangat ditekankan disini menurut penulis adalah bahwa pluralisme dapat dipahami bukan sebagai suatu yang netral. Ia tidak mengandaikan kita untuk selalu permisif tanpa ada keberpihakan yang jelas, misalnya terhadap semangat toleransi. Dalam Islam, memang sering ditantang dengan pemikiran semacam ini.

Pada saat kunjungan ke Amerika, yang paling mengesankan bagi Kyai Hasyim sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Anshori adalah ketika bertemu staf keamanan Presiden Amerika Serikat (Steve Hadley) yang berkantor di gedung putih kemudian beliau berdua berdiskusi, dalam diskusi tersebut Kyai Hasyim, mengatakan bahwa Islam di Asia Tenggara jangan disamakan dengan Islam Timur Tengah. Karena Islam yang di Timur Tengah wawasannya fundamental selain negerinya sering “diobok-obok” Barat seperti dalam konteks Israel. Sehingga timbul perlawanan double, perlawanan sebagai beda agama dan perlawanan terhadap imperialisme dan fasisme.[113] Maka kalau disana terjadi kekerasan-kekerasan, itu masuk akal. Kalau di Asia Tenggara tidak demikian, dan tidak ada penekanan dari Barat, tidak ada urusan langsung dengan Israel, dan sebagainya. Disitu terjadilah diskusi bahwa Amerika kalau melakukan intervensi terhadap Indonesia maka kerugian ada pada pihak Amerika untuk jangka panjang, sekalipun untuk jangka pendek merugikan Indonesia.[114] Maka kalau Timur Tengah dalam suasana perang mungkin banyak pihak mengatakan sebagai suatu kewajiban. Dalam suatu perang yang demikian itu , dalam Islam ada hukumnya sendiri. Dalam suasana perang disitulah tidak ada jalan lain kecuali melawan dan jihad dengan mengangkat senjata, sehingga melahirkan gerakan radikal dan fundamentalis yang  sangat kuat. Disini (Indonesia) maka dalam kenyataannya tidak ada perang. Perang yang demikian memerangi siapa? Semuanya menjadi tidak jelas. Sebagian kelompok melakukan kekerasan itu dengan dalih menegakan jihad. Padahal sebenarnya pengrtian jihad yang komprehensif tidak demikian. Apa pun yang dilakukan untuk kepentingan agama mengandung arti jihad. Berani mati itu memang jihad, namun hidup berkeadilan, hidup halal, dan hidup hidup makmur juga bagian dari jihad fisabilillah.

Jadi apa yang diharapkan dengan dialog Timur dan Barat adalah upaya penghentian kekejaman. Tapi kita menyelesaikan juga orang-orang yang telah membuka kekejaman itu. Oleh karena itu perlu dihindari sumber-sumber konflik dan kembalikan agama harus dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya sebagai rahmat bagi seluruh alam baik alam Timur maupun alam Barat.

Agama yang membawa rahmat tentunya bertumpu pada ajaran dan konsepsi takwa secara tepat. Takwa adalah modal utama hidup di dunia untuk menuju baldatun toyyibatun warobbun ghofur.

Persoalannya menurut Ahmad Baso, sekarang ini banyak terjadi deferensiasi dan spesialisasi sebagai konsekuensi modernisasi, namun pada saat yang sama juga akan melahir konflik-konflik interest. Hal demikian bisa diakomodasi melalui sistem hukum yang solid agar dapat menampung berbagai kepentingan yang ada. Islam disatu sisi mendukung semangat pluralisme, tetapi disisi lain juga mendukung proses yang bisa mewadahi pluralisme melalui sistem hukum. Dalam Islam terdapat tradisi fikih dengan model seperti yang dikembangkan mazhab Abu Hanifah atau bahkan yang lebih liberal, seperti yang dikembangkan salah seorang ulama Andalusia Asy-Syatibi. Beliau Beliau memiliki konsep maslahah (kepentingan) sebagai instrumen mengakomodasi pluralisme agar tidak terjadi berbagai benturan, hegemoni, dan dominasi. Disamping itu, konsep masala menjadi perangkat hukum yang efektif dalam membangun persaudaraan. Misalnya, terdapat satu referensi yang menyebutkan “Tasyharrufu Al-Imam ‘ala ra’ayatihi manutun bi al-maslahah”, kebijakan seorang penguasa kepada rakyatnya baik sebagai kepala negara, pemerintah legislatif, eksekutif maupun yudikatif, harus diorientasikamn kepada maslahah, kalau mashlahah tidak terwujud maka legislatif itu gugur. Ini adalah satu gagasan maju yang sekarang ini tidak dapat diakomodasi oleh kalangan Islam yang bersifat formalistik dengan mengedepankan simbol-simbol yang disebut Islami seperti syari’at Islam, bank Islam, ataupun ekonomi Islam. Padahal ketika kita berbicara teori maka konsep mashlahah tidak selalu  harus Islam. Sebab semangat yang muncul adalah sikap-sikap pluralis yang tidak mengakui otoritas tunggal, tidak ada sumber-sumber tunggal, karena telah mencair menjadi satu semangat kekeluargaan. Jika untuk negara maka konsep mashlahah diterapkan demi kepentingan bangsa, darimana asal etnis, kelompok, maupun budayanya.[115]

 

  1. 4.        Plularisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme

Secara objektif fakta dilapangan menunjukan bahwa, bangsa ini dalam kondisi pecah belah kerusuhan dan konflik berkepanjangan yang hampir tiada ujung. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya terdapat sejumlah daerah yang sampai hari ini masih dalam situasi konflik berkepanjangan, mulai dari konflik sara, etnis, separatisme dan juga konflik-konflik politik serta agama. Misalnya bisa disebutkan sejumlah daerah yang menjadi titik rawan konflik seperti Aceh, Maluku, Ambon, Kalimantan Timur, Papua Irian Jaya, Makasar, dan sebagainya. Komitmen dan konsepsi kyai Hasyim berkaitan dengan fenomena keagamaan akan dijelaskan pada bagian berikut.

  1. a.        Dimensi Humanisme Dalam Agama

Pluralisme keberagamaan Indonesia dalam pandangan kiai Hasyim sebagaimana diungkapkan Anshori adalah bagaimana agama-agama menampilkan dimensi kemanusiaannya yaitu hidup berdampingan berkembang diatas fundamen tradisi agama yang saling menghormati, tradisi gotong royong, tradisi musyawarah dan dialog serta budaya santun. Secara lebih spesifik pada bahasan ini akan disampaikan bagaimana pandangan Hasyim Muzadi dalam melihat hubungan Islam dengan agama-agama lain dalam wacana pluralisme agama.[116]

Menurut Hasyim sebagaiman dijelaskan Anshori, bahwa pertemuan-pertemuan yang sifatnya musyawarah sebagai bentuk dialogis antara umat beragama merupakan sesuatu yang sudah mentradisi pada jamah warga NU di Indonesia. Warga NU sudah  terbiasa melakukan pertemuan bersama teman-teman dari Kristen dan Katolik terutama pada hal-hal yang harus diselesaikan bersama-sama. [117]

Sejumlah perubahan telah terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan intensitas yang cukup dalam memperat tali dialog dengan umat semua agama bahkan hampir setiap minggu  dilakukan dialog dengan Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup bersama.

Kyai Hasyim berpandangan bahwa agama Islam itu mempumyai tiga bagian, yakni masalah teologi atau keimanan, masalah ibadah ritual, dan masalah humanisme (kemanusiaan).  Yang membedakan antara Islam dan  agama lainnya adalah tentang teologi dan ritual keagamaannya. Demikan dijelaskan Anshori.[118]

Pada aspek nilai-nilai kemanusian semua agama mengakuinya sebagai hal yang bernilai universal dan harus dijunjung tinggi dengan tanpa pandang bulu. Hubungan kemanusiaan yang sudah terbangun tidak boleh rusak hanya karena perbedaan teologi dan ritual. Itulah mungkin yang membedakan NU dengan ormas Islam laninnya. Untuk masalah-masalah humanisme (kemanusiaan), yang meliputi konsepsi persaudaraan, keadilan, persamaan kemakmuran, cinta kasih, toleransi, kerjasama, dan juga anti kekerasan semua menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip dimasud adalah nilai-nilai kehidupan yang universal yang juga dikehendaki oleh agama-agama lainnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam semata.

Menurutnya siapa yang mempunyai pandangan yang sama terhadap nilai humanisme ini adalah saudara kita. Kemudian jika menginginkan ber-Islam, dia cukup melakukan ritual dan keimanan. Menurut Hasyim pula keimanan tidak mungkin dipaksakan.  Ritual adalah sesuatu yang berada diluar akal kita, karena bentuk dan metodenya telah ditentukan Tuhan.[119]

Berdasarkan atas penelaahan diatas selanjutnya penulis memetakan pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi, di sini penulis menggunakan tipologi yang dijelaskan oleh Dr. Anis Malik Toha dalam bukunya yang berjudul Tren Pluralism Agama yang memberikan tipologi sebagai berikut :

Pertama, tren humanisme sekular yang dibangun diatas dua konsep utama untuk mewujudkan koeksistensi damai antara agama: (i) sentralitas manusia sebagai subyek dan obyek; dan (ii) sekularisasi/ skularisme. Representative tren ini kebanyakan dari kalangan tokoh politik seperti Benjamin Franklin, dan juga para teolog seperti Havey Cox.

Kedua, tren teologi global (global theology), yang mengacu pada (i) rekonsepsi agama yang diusung Wilfred Cantwel Smith; dan (ii) hipotesis transformasi pemusatan-diri menuju pemusatan-Yang Maha Nyata (The Real) yang dipropagandakan oleh John Hick.

Ketiga, tren sikretsisme (syncretic trend). Tren ini diwakili oleh gerakan “Masyarakat Ketuhanan” (Brahman Samaj); dan “Masyarakat Theosofi” (theosophical society) yang didirikan pada tahu 1875 di New York, Amerika Serikat. Tren ini juga terekspresikan secara fasih dalam pemikiran-pemikiran Ramakrishna dan muridnya, Swami Vivekanada. Begitu juga, kecenderungan ini sangat kental dalam gagasan Mahatma Gandhi. Tren ini akan dikaji melalui dua pondasi utamanya, yaitu (i) gagasan bahwa kebenaran terbagi dalam berbagai agama, (ii) gagasan bahwa agama-agama saling melengkapi. Dalam bahasan ini, penulis mencoba menelusuri akar tren ini dalam khazanah pemikiran Kabir dan Nanak yang memformulasikan agama baru, Sikhisme, yang dicampur dari adonan Hindu, Budha dan Islam.

Keempat, tren Hikmah Abadi (perenial philosophy, shopia perenis atau al-hikmah al-kholidah). Sebetulnya tren ini lebih populer di kalangan kaum mistik kuno, tetapi karena ditampilkan dalam wadah baru lengkap dengan filsafat modern, maka pada saat maraknya isu pluralisme agama, ia dianggap sebagai tren modern dan relevan dengan topik kajian ini. Tren ini akan dikupas melalui analisis terhadap berbagai gagasan yang diusung tokoh-tokohnya yang paling bertanggung jawab, seperti Frithjof Schuon  dan Seyyed Hosen Nasr. Gagsan ini pada intinya bertumpu pada keyakina mereka yang membedakan antara “hakikat transenden” (transendent reality) yang hanya satu saja dan tidak mungkin diketahui, dan “hakikat keagamaan” (religious reality) yang tidak lain merupakan beberapa manifestasi eksternal yang beragam dari hakikat yang satu dan transenden tersebut.

Dari beberapa tipologi yang dikemukakan Dr. Anis Malik Toha tersebut, penulis dapat memetakan pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi bahwa, pemikirannya lebih dekat dengan tren humanisme sekular yang dibangun diatas dua konsep utama untuk mewujudkan koeksistensi damai antara agama: (i) sentralitas manusia sebagai subyek dan objek; dan (ii) sekularisasi atau skularisme. Representatif tren ini kebanyakan dari kalangan tokoh politik seperti Benjamin Franklin, dan juga para teolog  seperti Harvey Cox. Asumsi penulis adalah :

Pertama, Hasyim Muzadi dibesarkan dalam tradisi pesantren sehingga nalar politiknya tidak begitu nampak dalam kehidupannya, akan berbeda halnya jika semisal dia dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan politisi. Akan tetapi karena sejak mahasiswa beliau sudah aktif di organisasi dan selanjutnya semakin matang maka selanjutnya publik memepercayainya untuk duduk di DPRD Jatim dan selanjutnya memimpin PWNU Jatim.

Kedua, meskipun Hasyim Muzadi pernah menjadi salah satu kandidat cawapres mendampingi Megawati yang diusung oleh PDIP dalam pemilu tahun 2004 yang lalu namun bukan berarti beliau mewakili kalangan politisi tetapi karena semata-mata menjawab kebutuhan warga NU yang menginginkan figur alternatif dimana PKB sebagai partai yang mayoritas warga Nahdliyin ternyata belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan warga NU.

Ketiga, dalam praksisnya Hasyim yang berlatar belakang pesantren sangat konsisten mengkampanyekan gerakan-gerakan yang mengarah pada upaya dialog antar kelompok dengan seringnya mengadakan agenda yang melibatkan antar kelompok yang bertaraf nasional maupun internasional seperti dialog ulama Sunni-Syi’i yang berlangsung di Bogor, disamping itu posisi beliau sebagai presiden Word Conference on Religion for Peace semakin mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh sekaligus pemimpin ormas keagamaan yang memiliki kepedulian yang kuat akan kondisi sosial-keagamaan yang mengarah pada pluralitas. Hal ini membuktikkan bahwa posisi pesantren memiliki peran strategis dalam turut mendorong kearah kesadaran akan kemajemukan yang tidak hanya pada keagamaan suku, etnik, golongan, melainkan juga dalam dunia religius.

 

  1. b.             Kerjasama Islam Dengan Agama Lain

Kerjasama antara agama dapat dilakukan pada dimensi humanisme. Sementara dalam soal keyakinan diperselisihkan berbeda. Tapi baik Islam maupun Kristen tentu tidak tega melihat rakyat menderita. Pada titik inilah perlu dibangun kerjasama, bahu membahu satu dengan yang lainnya tanpa membedakan keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lainnya.

Karenanya bisa dimengerti bahwa untuk masalah hubungan NU dengan agama-agama lain sangat baik dan sejati. Jadi bukan hubungan yang “pura-pura” dan penuh dusta. Apalagi di Indonesia, suatu negara yang tidak pernah mengalami tekanan antar agama. Mungkin berbeda dengan Timur Tengah yang menggunakan tema agama dalam kekerasan. Di Indonesia, ini semua tidak ada kesulitan yang berarti untuk hubungan antar agama. Kebebasan menjalankan agama dan ibadah dijamin oleh negara.

Selama ini diakui ada kasus-kasus yang menghambat kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh pemahaman NU terhadap Islam. Kemungkinan kasus-kasus itu disebabkan oleh masuknya pemikiran-pemikiran keras berasal dari luar Indonesia. Demikian pula adanya kesenjangan ekonomi dan konflik budaya setempat atau perlawanan terhadap pemerintah, sehingga gerakan-gerakan itu terkadang juga menimbulkan akses bentrokan antara agama. Hal demikian ini hanya merupakan sebagian kecil dan dapat diselesaikan oleh Nahdlatul Ulama (NU) melalui peran ulama yang ada.[120]

Faktor lainnya yang menyulut konflik adalah pengaruh kelompok-kelompok tertentu yang masuk ke Indonesia sebagai barisan pendatang. Inilah sebagian minoritas yang tidak menyukai Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini menjadi nilai ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. NU dianggap terlalu kompromistis, terlalu baik terhadap semua agama dan mempunyai toleransi yang terlalu berlebihan terhadap budaya lokal (local wisdom). Bahkan pada akhirnya mereka ini mengklaim NU sebagai bid’ah, khurafat dan tahayyul.[121]

Kelompok ini kemudian mencoba melakukan purifikasi (pemurnian). Purifikasi ini berkiblat pada realitas Islam di Timur Tengah masa lalu (klasik). Sehingga semua harus dikembalikan kepada masa lampau. Mereka tidak mentolelir konsepsi humanisme itu berdasarkan yang kental dengan nilai lokalitas budaya. Sehingga semuanya cenderung dianggapnya bertentangan dengan teologi.  Inilah yang kemudian bersambung dengan kelompok-kelompok dari luar. Demikian penjelasan Anshori.[122]

Menilik dari kenyataan sejarah bahwa, walisongo bisa mengislamkan orang Indonesia 90% tanpa perang. Hal inilah yang menjadi pertanyaan dalam konteks perkembangan NU hingga sekarang, bagaimana NU tidak terlibat dalam kekerasan dan selanjutnya bagaimana sikap NU terhadap kekerasan dan terorisme internasional. Kenyataan tersebut dapat dipakai untuk mensosialisasikan khittah. Islam yang rahmatan lil ‘alamin dibangun dari mabadi’ khoira ummah, sementara politik secara nasional harus mengandung landasan konsep mengayomi dan merekonstruksi dari civil society. Negara dibangun melalui pluralisme, demokrasi dan konstitusi yang disepakati bersama, dan di NU sudah memadai semua nilai itu didalam “rahim jama’ah”. Mereka menginginkan islam di dunia seperti Islam nya NU. Bagaimana pendiri NU menangkap ide walisongo lalu dijabarkan dalam konteks negara Indonesia. Posisi NU hari ini sudah berada pada maqaamam mahmuda, tetapi untuk sampai kesana Hasyim bilang, NU haus berada diatas semua golongan.[123]

Dalam kaitannya dengan hubungan dunia timur dan barat sekarang ini dari dua belah pihak (Islam dan Barat) terjadi sebuah kerancuan. Negara-negara barat menuduh bahwa terorisme terkait dengan agama Islam. Sementara kelompok muslim sendiri, punya persepsi seakan-akan perbuatan itu harus dibela melalui agama. Kedua persepsi demikian itu tidak ada yang benar. Seperti halnya tragedi Bali harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan, sehingga pelaku yang tertangkap perlu diterapkan hukuman yang setimpal dalam arti mengadili kejahatan kemanuisaannya itu sendiri.

Hasyim Muzadi mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati dalam menyikapi dan penuh kewaspadaan terhadap munculnya konflik ditengah masyarakat. Aparat yang berwenang harus cekatan. Kemungkinan ada provokator yang membenturkan umat antar agama. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah munculnya kejahatan kemanuisaan dan kemudian dihubungkan dengan agama. Jika demikian maka masalahnya akan menjadi besar. Misalnya kasus bom Bali sungguh merupakan kejadian yang luar biasa. Siapa pun pelakunya perlu dikutuk, karena sudah sangat tidak mempertimbangkan nyawa. Dalam Islam, membunuh seorang sama dengan membunuh seluruh manusia. Dalam ajaran agama manapun termasuk Islam tidak terdapat ajaran yang membenarkannya. Peristiwa diatas tidak boleh dikaitkan dengan agama yang kemudian akan terjadi konflik antar agama.[124]

Menurut penuturan Anshori, Hasyim Muzadi telah menegaskan, NU sudah mencoba berbagai upaya agar berbagai konflik di daerah tidak dipersepsikan sebagai konflik yang berdasar agama. Dalam menerangi dan mengantisipasi gejala terorisme, kiai Hasyim meminta semua pihak, agar tidak terjebak memakai kata jama’ah Islamiah. Konsep jama’ah Islamiah ditakutkan akan menjadi konsep pukul rata semua jama’ah yang berarti komunitas atau kelompok yang memegang teguh Islam sebagai agamanya dan melakukan dakwah-dakwah disemua tempat. Jika konsep ini dipukul ratakan maka mengandung implikasi jama’ah umat islam dari berbagai tempat terkena klaim sebagai barisan teroris, tidak terbatas kelompok Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan kawan-kawan, namaun juga jama’ah NU, Muhammadiah, al-Irsyad dan sebagainya terkena stigma dan image bahwa mereka adalah teroris.[125]

Dalam upaya memerangi dan mengantisipasi terorisme secara bersama-sama, kiai Hasyim melakukan silaturahmi bersama sejumlah delegasi dari mancanegara, mereka menilai, NU tidak hanya merupakan kelompok Islam moderat, tetapi juga sebagai titik temu sejumlah elemen bangsa. Untuk itulah mereka datang ke kiai Hasyim karena membutuhkan pemikiran-pemikiran dari NU terkait terorisme. Disitulah dihasilkan kesepakatan dan persetujuan bahwa terorisme adalah persoalan serius sehingga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Apapun bentuk dan alasannya, para pelaku aksi terorisme adalah pembunuh dan penjahat dalam artian umum yang tidak mewakili agama apapun.

Memang berat perjalanan NU dimasa Hasyim Muzadi dimana ancaman bertubi-tubi datang silih berganti yang jikalau NU sebagai jam’iyyah tidak kokoh memperkuat diri maka Indonesia sebagai negara dan bangsa akan hancur, karena bagaimanapun diakui atau tidak organisasi yang tetap konsisten mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah NU.

Kalau NU ingin istiqamah, mencapai maqaamam mahmudah kata Hasyim sebagaimana yang disampaikan Anshori. Maka untuk mencapai itu, ada beberapa pokok yang harus dilakukan NU. Pertama, kembali pada metode assalafus saleh. Kedua, harus dibangun ukhuwah Nahdliyah untuk menempatkan NU sebagai milik Indonesia. Ketiga, keretakan dari umat Islam harus disambung kembali, seperti dengan Muhammadiyah termasuk dengan ikhwan, sementara itu ukhuwah wathaniyah yang retak harus disambung lagi. Keempat, awal 2000 sampai 2001, kalau bisa dibangun ukhuwah islamiyah internasional.[126]Sampai hari ini NU sebetulnya belum menemukan bentuk formasi ideal sebagai sebuah jam’iyyah yang mencerminkan organisasi dengan pengikut terbanyak yang turut membawa kepentingan besar dalam menentukan masa depan bangsa dan negara indonesia. Organisasi yang diidealkan oleh warga NU adalah organisasi politik yang mampu berkompetisi (berdaya saing) dengan organisasi politik yang lain dalam era demokrasi sejati dan pemikiran abad kontemporer ini. Untuk itu, NU tidak bisa disamakan dengan partai NU zaman dahulu. Sebab dimungkinkan disitu ada ulama-nya yang bertugas menunggui, dan pengurus yang lain adalah orang yang profesional pada bidangnya, sehingga mampu melahirkan politisi dan berkembang menjadi negarawan.

  1. B.   Pandangan Hasyim Muzadi Terhadap Fatwa MUI

Pada saat MUI dalam musyawarah nasional-nya yang ke VII yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 26 sampai 29 juli 2005 yang mengambil keputusan dengan mengeluarkan beberapa fatwa yang amat kontroversial terutama yang terkait dengan diharamkannya pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama islam. Hasyim pun menyayangkan langkah yang ditempuh MUI dengan mengeluarkan fatwa yang justru memicu persoalan baru. Menurut Hasyim, fatwa MUI itu merupakan langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.[127] Ia menyatakan seperti itu menurut penulis karena selama ini belum ada kata sepakat yang bisa jadi karena perbedaan persepsi tentang definisi pluralisme, sekularisme, liberalisme serta dampaknya terhadap islam di indonesia yang bisa-bisa justru memunculkan gerakan baru yang mengarah kepada upaya formalisasi agama yang tentunya akan terkait dengan konsep relasi agama-negara. Menyinggung prinsip hubungan agama dengan negara, Hasyim menyebut agama substansialis yang inklusif, buka ekslusif. Formalis ekslusif hanya akan memecah belah bangsa ini dalam hal kerukunan umat beragama atau pertikaian antar suku dan budaya yang lain.[128]

Menurutnya :

“Jadi, bagaimana  inklusifisme itu menjamin fluralisme, dan agama bisa berjalan dengan baik. Sudah ada paradigmanya tinggal mengembangkan saja”[129]

Di sisi lain munculnya fatwa MUI menjadi sangat memprihatinkan pada saat tokoh-tokoh agama sedang giat-giatnya membangun sistem keagamaan yang toleran, yaitu dengan upaya penghargaan terhadap kenyataan yang ada serta menjungjung tinggi terhadap agama-agama maupun paham keagamaan yang di dalamnya demi setabilitas bangsa serta diakuinya eksistensi, harkat dan martabat bangsa Indosnesia di hadapan bangsa lain. Dengan kasus yang muncul di Ambon, Bali, dan daerah-daerah lain yang kasusnya hampir serupa tentunya mengundang keperihatinan dunia internasional terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia. Dengan keragaman tersebut jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan keunikan yang diharapkan akan menjadi potensi positif tersendiri dan akan menjadi ciri khas yang akan membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya.

Namun ketika MUI memfatwakan tentang diharamkannya paham pluralisme, sekulerisme, libralisme maka seperti menjadikan persoalan lama dipaksakan untuk dimunculkan kemabli. Hal tersebut juga dinilai bertentagan dengan ajaran Islam seperti dalam QS. A l-Baqoroh (2): 256 yang berbunyi la ikraha fi ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama, munculnya fatwa tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya pemahaman akan kenyataan keragaman yang ada di Indonesia serta mengingkari sunatullah akan kenyataan adanya perbedaan. Di sisi lain munculnya fatwa tersebut tanpa disadari atau tidak justru akan menciptakan friksi baru di kalangan masyarakat bahwa yaitu terkelompokannya antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI tersebut yang tentunya akan menambah beban tersendiri dalam upaya menciptakan stabilitas bangsa melalui semangat pluralitas yang dibangun oleh beberapa tokoh termasuk Hasyim Muzadi.

  1. C.   Komitmen Menjaga Pluralitas Kebangsaan

Satu dekade sudah reformasi bergulir di negara pasca kolonial ini. Seperti yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini ada kecendrungan beberapa daerah dan kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menerapkan syari’at Islam sebagai dasar negara.[130] Terlepas dari itu semua, bentuk negara Indonesia adalah Republik, dan Pancasila adalah ideologi negara.

Di bidang pemerintahan, saat ini Indonesia memakai bentuk pemerintahan Presidensial. Sementara kekuasaan Legislatif menggunakan sistem Bikameral yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui Pemilu setiap lima tahun dan diikuti oleh lebih dari dua partai politik (multiparty system). Presiden dan wakil Presiden, begitu juga dengan kepala daerah dan wakilnya, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu dan pilkada. Selain itu, pasca reformasi Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Lembaga Ombusmen Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan beberapa Lembaga negara lainnya sebagai manifestasi dari upaya pelembagaan demokrasi.

Dari waktu ke waktu, negara Indonesia telah menjalani beberapa model pemerintahan dan juga beragam interpretasi terhadap demokrasi. Mulai dari model pemerintahan Presidensial paska kemerdekaan di bawah pimpinan Soekarno dengan Hatta sebagai wakilnya, lalu model Parlementer dengan Muhammad Natsir sebagai Perdana Menteri, lantas digugurkan oleh Demokrasi Terpimpin Soekarno, dan terakhir model Demokrasi Pancasila Soeharto. Pemerintahan B.J Habibie yang transisional di era reformasi, Tradisi demokrasi tersebut semakin diperkuat pada masa kepemimpinan presiden KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang justru menjadi tumbal demokrasi. Lantas Megawati Soekarno Putri menggantikan tahta ke-Presidenan setelah Gus Dur dilengserkan. Periode Selanjutnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dipilih melalui pemilihan presiden secara langsung, demokrasi dinilai semakin kuat tertanam dalam struktur politik Indonesia.

Lain dari pada itu, perubahan yang terjadi di Indonesia masih bergerak pada level pola (pattern) tata politik dan tata pemerintahan secara kosmetikal, bukan pada struktur sosial-politik secara transformatif menuju konsolidasi demokrasi.[131] Padahal, pola demokrasi yang dibuahkan oleh suatu transisi yang tidak sempurna merupakan demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy)[132]. Elite politik misalnya, tidak diikat oleh sebuah visi bersama untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dan cenderung bercerai berai. Elite lebih banyak saling bertarung memperebutkan kekuasaan ketimbang meletakkan fondasi kepemimpinan transformatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Aroma korupsi yang dilakukan elite, baik dipusat maupun di daerah, telah menjadi rahasia umum dan kian merajalela.

Mungkin bukan menjadi rahasia umum lagi bagi bangsa Indonesia, disaat negara sedang dilanda krisis tetapi para pengelolanya justru hidup dengan penuh kekayaan dan kemewahan.para penguasa di semua level sebanarnya tidak mempunyai komitmen dan kapasitas yang memadai. Mereka sangat dominatif mengedepankan paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan ketimbang paradigma reformasi, tanggung jawab, dan kerakyatan. Partai politik yang secara teoritis diyakini sebagai institusi demokrasi, justru tampil sebagai pembunuh demokrasi. Organisasi politik tidak memainkan peranan sebagai oposisi untuk perubahan tetapi malah berebut kekuasaan dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Dalam kurun tiga dasawarsa terakhir di penghujung abad ke-20, tuntutan demokratisasi menggelinding secara massif di dunia internasional. Menguatnya tuntutan ini lantaran demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dipandang lebih mampu mengangkat harkat, martabat kemanusiaan, lebih rasional, dan lebih realistis, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang dominan, represif, dan otoriter.[133]

Demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan memiliki empat nilai fundamental, yaitu: perlindungan terhadap hak-hak azasi, kebebasan azasi, keadilan, egalitarianisme, dan transparansi.[134] Nilai-nilai fundamental yang secara inheren terkandung dalam dermokrasi inilah yang dpandang akan mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan ke level yang ideal seperti yang dicita-citakan oleh para founding fathers Indonesia, sebagaimana termaktub dalam preambule UUD ’45. Tetapi, sistem nilai ideal demokrasi tidak akan terwujud tanpa ditopang oleh seperangkat nilai-nilai operasional yang mendasari bekerjanya demokrasi pada tataran praktis.

Paling tidak, ada enam perangkat nilai operasional[135] yang diperlukan untuk menjamin termanifestasikannya nilai ideal demokrasi dalam sistem politik. Pertama, adanya mekanisme yang mengatur tentang cara penyelesaian konflik secara damai dan melembaga (institutionalized peacefull settlement of conflict). Kedua, adanya jaminan bagi terselenggaranya perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah (peacefull change in a society). Ketiga, adanya mekanisme yang disepakati bersama tentang penyelenggaraan pergantian kepemimpinan sacara teratur dan periodik (orderly succession of rulers). Keempat, adanya pembatasan terhadap kekerasan dalam menyelesaikan masalah sampai pada level minimum (minimum of coercion). Kelima, penerimaan secara wajar atas pluralitas sebagai fakta sosiologis. Keenam, adanya sistem hukum yang kuat sebagai jaminan tegaknya nilai-nilai keadilan. Pemenuhan atas prasyarat-prasyarat operasional inilah yang akan menjamin terwujudnya nilai-nilai ideal demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi suatu masyarakat. Jika tidak, maka nilai-nilai luhur demokrasi hanya akan menjadi sistem nilai yang mengawang-awang di angkasa dan bahkan cenderung utopis.

Dalam pandangan Hasyim Muzadi, demokrasi adalah sistem politik yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Fakta sosiologis menunjukkan, Indonesia adalah bangsa yang mengandung keberbagaian etnik, kultur, agama, dan kepercayaan. Paling tidak, menurut pak Hasyim, ada dua nilai fundamental yang secara inheren terkandung dalam demokrasi. Pertama, nilai keadilan. Demokrasi mengandung tata nilai keadilan yang menjadi kebutuhan fundamental seluruh umat manusia yang terekspresi dalam bentuk pemberian kesempatan dan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan talentanya tanpa perlu merasa khawatir adanya diskriminasi dari penyelenggara negara atau kelompok-kelompok lain.[136] Kedua, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling mungkin dan memadai bagi penyatuan kekuatan seluruh elemen kebangsaan. Demokrasi dipandang mampu mengkerangkai ikatan-ikatan primordial selebihnya. Karenya, menurut Pak Hasyim, demokrasi harus ditempatkan sebagai kerangka dasar kebangsaan dan diorientasikan secara sistematik pada upaya pemenuhan cita-cita kolektif berbangsa dan bernegara.[137] Demokrasi tidak bisa berpangku tangan atas nasib rakyat miskin yang termarginalisasi secara ekonomi politik dengan hanya sebatas berfokus pada penciptaan seperangkat sistem politik yang bisa meminimalisir gerak laju dan kembalinya otoritarianisme.[138]

Robert Dahl,[139] salah seorang ilmuwan terkemuka di Amerika, meyakini bahwa sistem demokrasi jauh lebih unggul bila dibandingkan dengan sistem politik manapun. Penilaian Dahl akan keunggulan demokrasi sebagai sebuah sistem politik sekurang-kurangnya dalam tiga aspek. Pertama, proses demokrasi lebih mampu meningkatkan kebebasan yang dimiliki warga negara jika dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Kebebasan disini menyangkut kebebasan dalam menentukan nasib sendiri secara individu maupun kelompok, kebebasan dalam tingkat otonomi moral dan dukungan terhadap kebebasan-kebebasan lain. Kedua, proses demokrasi lebih mampu meningkatkan pengembangan kapasitas masyarakat, sekurang-kurangnya dalam mengembangkan kemampuan-kemampuannya untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri, otonomi moral dan pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan yang dilakukan. Dan ketiga, proses demokrasi merupakan cara yang paling pasti, meskipun bukan yang paling sempurna, yang dapat digunakan manusia untuk melindungi dan memajukan kepentingan dan kebaikan yang sama-sama mereka miliki dengan orang-orang lain.

Rancang bangun sistem politik suatu negara-bangsa yang plural tidak bisa dibangun diatas fondasi yang berbasis pada tata nilai primordial, sektarian, dan sejenisnya entah itu berbasis suku, ras, etnik, atau bahkan agama. Penggunaan salah satu dari sekian nilai-nilai primordial ini sebagai sistem politik nasional tidak hanya akan menyakiti kelompok-kelompok lain, akan tetapi juga akan menciderai kohesivitas sosial.[140] Bahkan bukan tidak mungkin justru akan menjadi biang konflik horizontal antar berbagai komponen bangsa yang dapat mengancam integrasi bangsa. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang secara kodrati mengandung kemajemukan kultur, agama, suku, dan etnik, dalam mengejar cita-cita nasionalnya meniscayakan suatu sistem ketatanegaraan yang mampu membingkai keberbagaian tersebut diatas landasan kesetaraan, keadilan, dan adanya jaminan bagi keberlangsungan serta pertumbuhan pluralitas kultur, suku, agama, dan keyakinan yang ada.

Karenanya, menurut Hasyim Muzadi, demokrasi tidak hanya merupakan sistem ketatanegaraan yang unggul dan saat ini dijadikan rujukan mayoritas negara-negara di dunia akan tetapi secara prinsip mengandung struktur nilai yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia yang notabene suatu bangsa yang majemuk dalam berbagai hal. Demokrasi diperjuangkan tidak hanya karena demokrasi merupakan sistem yang realistis dan manusiawi, tapi juga karena inheren didalamnya ada potensi untuk menyatukan seluruh komponen dan kekuatan bangsa. [141] Potensi ini tentu tidak dimiliki oleh agama dan berbagai nilai-nilai primordial yang lain dengan demokrasi seluruh kekuatan kebangsaan akan mampu dihimpun guna memperkokoh bangunan kebangsaan Indonesia.

Dalam catatan hasil, kemajemukan atau pluralitas bangsa ini sebenarnya memperlihatkan pengalaman empirik. Karena prinsip pluralisme sebagai paham yang menghargai eksistensi perbedaan manusia kemudian diakui dan dilestarikan dalam bentuk semboyan negara kita, yakni bhineka tunggal ika, yang secara implisit mengandung penegasan bahwa perbedaan adalah khazanah nasional yang semestinya bukan untuk dimusuhi atau diseragamkan, tetapi harus dsatukan agar tidak menjadi kekuatan yang tercerai berai.

Berpijak pada prinsip itulah para pendiri negara kita berusaha sekuat tenaga merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk penghargaan. Namun, harus kita akui bersama bahwa rumusan para pendiri bangsa tentang penghargaan atas bentuk perbedaan tidaklah berjalan mulus sesuai dengan harapan. Menurut penalaran Hasyim penyikapan terhadap perbedaan yang selalu cenderung negatif merupakan cerminan dari masyarakat yang belum memiliki kedewasaan budaya.[142] Dalam pengertian perbedaan adalah sesuatu hal yang harus dihindari atau ditaklukan agar tidak menyimpang bibit perlawanan yang mengganggu kepentingan pihak yang berlawanan.

Selain itu, harus diakui bahwa agama juga merupakan salah satu faktor potensial yang menyulitkan tegaknya pluralisme. Sebagai ajaran yang diyakini membawa nilai-nilai luhur seperti keadilan, kebersamaan, kesalehan, dan lain sebagainya. Agama pada dasarnya menghendaki adanya cinta kasih diantara sesama manusia tanpa mempertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat yang disandang. Menurut akal sehat, tidak akan ada satupun agama yang menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling menghormati satu sama lain dalam melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Hasyim menyayangkan akan citra ideal agama yang tak jarang menampakkan wajah yang kurang bersahabat ketika menjelma menjadi ideologi atau keyakinan sekelompok orang yang bersifat mutlak, tertutup, agresif, dan menjerumus ke arah ekskluvisme. Kebenaran yang dianut bukan lagi menafikan kebenaran yang diyakini oleh pihak,  tetapi lebih dari itu, penghormatan terhadap suatu eksistensi diluar dirinya tidak diberikan sama sekali, sehingga perbedaan dianggap fenomena yang menyalahi “kebenaran” itu sendiri.[143]

Dalam perspektif Islam, perbedaan pada hakikatnya bukanlah suatu masalah yang serius karena merupakan garis ketentuan Allah. Dalam hal ini Islam secara tegas menjamin hak-hak dasar kemanusiaan yaitu apa yang menjadi tujuan diturunkannya syariat (maqasid asy-syari’ah) yang meliputi jaminan atas: Pertama, kebebasan agama atau mempertahankan keyakinan, yang berarti syariat diturunkan bertujuan untuk melindungi agama dan keyakinan setiap orang (hifz ad-din). Kedua, keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan diluar ketentuan hukum (hifz an-nafs). Ketiga, keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl). Keempat, keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifzu an-mal). Dan kelima, kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifu al-‘aql).[144] Menurut pandangan Hasyim Muzadi, keharusan menjaga prinsip pluralisme tersebut tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa berdasarkan pengalaman di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal,[145] termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks.

Pluralisme yang ditentukan Hasyim Muzadi adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Pluralisme dalam bertindak mensyaratkan seseorang untuk tidak membatasi pergaulan dengan orang lain (eksklusif) meskipun berbeda keyakinan. Pluralisme dalam berpikir adalah kesediaan untuk menerima atau mengambil gagasan dari kalangan lain. Pada gilirannya pluralisme ini akan melahirkan sikap toleran terhadap yang lain. Sikap ini amat penting ditetapkan dalam pergaulan sosial seperti di Indonesia. Prinsip ini pula yang mendorong Hasyim Muzadi untuk menyuarakan kepada kaum muslimin agar bergaul dan bersahabat dengan penganut agama lain.

Langkah kongkrit Hasyim dalam memperjuangkan pluralisme juga diejawantahkan lewat gerakan yang tidak besar yakni, International Converence Islamic Scholars (ICIS) dengan mengusung tema besar Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Dimana gerakan ini bertujuan membangun persamaan persepsi dikalangan umat Islam sendiri atau non-Islam. Selain itu gerakan ICIS berupaya mencari jalan keluar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di negara Islam atau non-Islam. Semuanya itu merupakan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.[146]

Sikap pluralistik tersebut merupakan modal sosial untuk hidup bersama dalam keragaman sosial, budaya, politik, dan agama secara damai dan beradab. Sikap pluralistik dengan sendirinya menampik setiap upaya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara dan menggantikan pancasila. Sikap itu pula yang membuat Hasyim Muzadi sangat gigih menentang keras kalangan Islam yang berniat mengganti ideologi pancasila dengan Islam.[147]

Visi Hasyim Muzadi tentang pluralisme dan toleransi tergambar dalam pernyataan berikut:

Sikap akomodatif yang lahir dan adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. [148]

Sikap hidup demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis, toleran, dan pluralistik Hasyim Muzadi. Sikap itu pula yang bisa menjelaskan kekuasaan pergaulan dan wawasan Hasyim Muzadi yang ternyata bersumber dari banyak sekali ajaran, nilai moral, dan budaya yang ada di dunia serta pandangannya tentang pluralitas kebangsaan yang tetap relevan untuk Indonesia.

BAB V

PENUTUP

 

  1. A.       KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang pemikiran pluralisme keagamaan Hasyim Muzadi sebagaimana dipaparkan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

  1. Sebagai seorang tokoh yang pernah memimpin sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Hasyim Muzadi memiliki beberapa pemikiran, diantaranya adalah tentang pluralisme agama. Pemikiran Hasyim  Muzadi dalam hal pluralisme agama ini adalah :
    1. Gagasan tentang Islam Rahmatan lil ‘Alamin yg menurutnya merupakan solusi alternatif atas kebuntuan global yang sampai saat ini belum terpecahkan. Pada dasarnya pemikiran Hasyim Muzadi tersebut berawal dari kegelisahan atas implikasi yang muncul atas berbagai kasus yang mengancam pluralitas dan lahirnya gerakan radikal yang mengatas-namakan agama, dimana gerakan tersebut tidak mencerminkan kenyataan atas kondisi kultur, social, dan budaya yang berkembang di Indonesia.
    2. Pendekatan dialog peradaban. Untuk penerapan konsep Islam Rahmatan lil ‘Alamin, menurutnya, yang paling awal dilakukan adalah melalui amar ma’ruf dan nahi munkar dengan mengambil pendapat yang dikemukakan Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu memiliki etika, yaitu adabu al-amri bi al-ma’ruf dan adab al-nahy ‘anil al-munkar. Ada tiga etika yang disampaikan al-Ghazali. Salah satunya adalah memerintahkan orang untuk berbuat baik dan mencegah berbuat jahat jangan sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, dan dari fikih Islam “akhaffu aldhararain”. Dari dua konsepsi diatas, Hasyim Muzadi berusaha mewujudkan sikap pluralis terutama dalam rangka mendialogkan kesenjangan Timur dan Barat.
    3. Pluralisme agama sebagai bagian dari humanisme. Hal ini bias dipahami mengingat adanya dimensi humanisme dalam agama dan adanya tuntutan kerjasama antara agama yang satu dengan agama yang lain.
    4. Relevansi pandangan pluralisme Hayim Muzadi terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya amat dibutuhkan mengingat kondisi bangsa yang sedang menghadapi krisis multidimensi termasuk kaitannya dengan sosial-keagamaan, maka gagasan Islam Rahmatan lil ‘alamin menjadi solusi alternative atas kebuntuan bangsa.

Menurut Hasyim, Islam bisa menjadi Rahmatan lil ‘alamin dengan bertumpu pada dua hal. Pertama, Islam dalam menyelesaikan konflik global hendaknya mengutamakan pendekatan dialog. Dengan dialog tersebut, diharapkan problem-problem yang sbelumnya tidak terpecahkan karena tidak tersampaikannya kepentingan maka akan terselesaikan. Kedua, implementasi Islam harus dibangun berdasarkan kecerdasan dan ketaqwaan. Dari situ maka agama akan menjadi sesuatu yang humanis yang diharapkan akan membentuk kesalehan sosial, bukan hanya kesalehan individual.

Disamping itu, dinamika keislaman yang sedang marak di Indonesia hendaknya diarahkan pada hal-hal berikut : Pertama, umat Islam harus sadar bahwa persoalan yang dihadapi saat ini tidak hanya lingkup Indonesia, namun persoalan global-mondial, dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut memerlukan pengetahuan dan pemikiran Muslim Indonesia yang nantinya akan menggabungkan diri dengan pemikiran Islam Internasional. Kedua, upaya pencerdasan dalam berbagai disiplin ilmu dan teknologi serta menerjuni segala sector kehidupan modern, agar terkuasainya seluruh idiomnya maka umat Islam akan menemukan kembali peradabannya. Disamping hal tersebut, upaya Islamisasi dan atau penggalian ilmu yang orisinil Islam juga harus dilakukan. Serta pembahasan sistem sosial, ekonomi dan politik yang Islami juga perlu dipertajam. Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang mutlak perlu untuk mendorong terciptanya masyarakat etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai pembangunan dan perubahan sosial ini, maka amat penting para intelektual Islam lebih menguatkan advokasinya atas kelompok masyarakat lemah yang menjadi korban dari proses pembangunan, mempertajam kritik terhadap budaya yang merusak moral masyarakat serta lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik dan ekonomi, terutama dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan. Keempat, dimensi tasawuf menjadi hal yang penting untuk dikembangkan dalam teologi Islam. Karena menjadi sangat berbahaya pada saat akal tidak memiliki pembimbing yang bermotif rohani yang bersih, di sisi lain pemikiran keagamaan fuqaha’ yang memerlukan agama lebih sebagai hokum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi semacam ideologi, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi bathin yang menjadi inti keberagamaan yang sebenarnya. Dan secara mendasar, agama yang membawa rahman bertumpu pada ajaran dan konsepsi taqwa secara tepat.

  1. B.       SARAN-SARAN

Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

  1. Dengan minimnya tulisan Hasyim Muzadi dalam bentuk buku, maka para peneliti keagamaan hendaknya melakukan wawancara langsung dengan beliau untuk mendapatkan ide-ide beliau yang utuh dalam berbagai hal selain pluralisme.
  2. Sebagai organisasi dengan jama’ah terbesar di Indonesia yang pernah dipimpin oleh Hasyim Muzadi sebagai tokoh pluralis, secara formal mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan umat, hendaknya PBNU dapat memberikan dorongan dan dukungan serta perhatian yang sungguh-sungguh dalam menghadapi gerakan-gerkan yang berupaya merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 yang dinilai NU sudah menjadi harga mati.
  3. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang menghadapi persoalan yang amat kompleks, tawaran yang digagas Hasyim Muzadi merupakan salah satu solusi alternatif yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, alangkah baiknya dengan solusi yang ditawarkan Hasyim Muzadi tersebut, pikiran masyarakat menjadi terbuka melihat kondisi riil bangsa Indonesia yang memang dilahirkan menjadi bangsa yang majemuk. Semangat pluralitas tersebut akan dapat membangun jati diri bangsa menuju bangsa yang berperadaban.

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER DARI BUKU :

Abdullah, Amin. Studi Normativitas dan Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Abdullah, Taufiq. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1987.

Abdurrahman, Muslim. Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

Ahmad, Nur (ed.). Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.

Anshori, Ibnu. Kh. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance. Sidoarjo: Citra Media, 2004.

Esposito, Jhon. Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.). Bandung: Pustaka, 1985.

Kumpulan tulisan dari Koran detik.com, suara pemaharuan, Kompas: Kiprah PBNU 2000-2001,  Analisa dan Evaluasi Pemeritaan tentang Kepemimpinan Hasyim Muzadi, diterbitkan oleh eLkapim Malang, tanpa tahun.

Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, 2006.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1993.

Munawar Rahman, Budhi. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.

Quthub, Muhammad. Islam Agama Pembebas. Fungky Kusnaedi Timur (terj.) Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.

Rahman, Fazlul. Islam. Ahsin Muhammad (terj.) Bandung: Pustaka, 1984.

Rahmat, M. Imdadun. Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2000.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1999.

Shodiq, Mohammad. Dinamika Kepemimpinan NU; Refleksi Perjalanan KH. Hasyim Muzadi, Surabaya: (LTN) NU Jati, 2004.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengemabngan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

INTERNET :

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-ada-NU-dan-Muhammadiyah

http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html

http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0

http://www.insistnet.com/content/view/25/34/,

http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html.

http://www.icrp-online.org.

http://id.wikipedia.org/wiki

http://gp-ansor.org/?pageid+115

www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-syiah-jawa-timur-dipicu-provokator.htm

http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html.

http://www.nu.or.id/show/pages/625.html


[1] John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), (Bandung: Mizan, 2008), h. 9.

[2] Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2.

[3] Editorial Media Indonesia “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”,  Rabu, 15 September 2010. Diambil dari Website : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-Ada-NU-dan-Muhammadiyah.

[4] Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakan oleh Orientalis Clifford Geertz dengan Trikotomi-nya.

[5] Pada tanggal 9 November 2004, Hasyim Muzadi beserta Din Syamsuddin mengundang ulama-ulama Sunni-Syiah seluruh dunia yang terdiri dari 84 negara untuk menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam di Bogor, Jawa Barat.

[6] Surahman Hidayat, Islam Pluralisme Dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 53.

[7] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008), h. 51

[9] Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 82

[11] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), h. 883.

[12] Ibid., h. 884

[13] Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 33.

`               [14] Ibid., h. 34.

[15] Ibid., h. 35.

[16] Muhammad Quttub, Islam Agama Pembebas, fungky kusnaedi timur (terj) (Yogyakarta Mittra Pustaka, 2001), h. 368.

[17] Baca QS. Al-Hujurrat (49) : 13

[18] Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas (Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74

[19] Ibid., h. 75.

[20] Budhi Munawar-Rahman, Islam pluralisme (Jakarta:Paramadina,2001), hlm.363

[21] Ibid., h. 363-364.

[22] Ibid., h. 370

[23] Jhon L Esposito (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), (Jakarta: bulan bintang, 1986), h. 3.

[24] Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 301

[25] Khurshid Ahmad, Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1983), h. 121.

[26] Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1984), h. 365.

[27] Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0

[28] Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task =view&id =1406&Itemid=0

[29] Ditulis oleh Hamdi Fahmy, diakses dari http://www.insistnet.com/content/view/25/34/,

[30] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), h. 5.

[31] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 164.

[32] Ibid, h. 165.

[33] Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: kompas, 2001), h. 11-12.

[34] Ibid, h. 21

[35] Muhammad Ali, dari http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html.

[36] Ibid., h. 3

[37] Ibid., h. 6

[38] Nur Ahmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman,  h. 13.

[39] Robert N. Bellah dan Philip E. Hammon, Beragama  Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, imam khoeri, dkk (tej), (yogyakarta: ircisod: 2003), h. 212

[40] Alwi shihab, Islam Inklusif  (Bandung: Mizan, 1999), h. 41.

[41] Ibid., h. 42-43

[42] Ibid., h. 42.

[43] Ibid., h. 213.  

[44] Ignas Kleden, “ Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agma dan Tantangan Jaman, (Jakata:LP3ES, 1985), h. 153.

[45] Ibid,. h. 154-155

[46] Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun h.a mukti ali agama dan masyarakat (Yogyakarta Sunan Kalijaga Press, 1993 ),  h. 169.

[47] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. h. 14-15.

[48] John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 293.

[49] Qurais shihab, Membumikan Al-Qur’an,  (Bandung: Mizan, 1993), h. 215.

[50] Ibid., h. 21.

[51] Ahmad Najib Burhani,  Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 3-4.

[52] Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 218-219

[53] Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, h. 14-15.

[54] Ibid., h. 16

[55] Abdul nasir Solissa (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya, (Yogyakarta:LESFI, 1983), h. 15.

[56]  Robbert N Bellah dan Phillip E. Hammond, Beragama  Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, h. 212.

[57] Budhi Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Diktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), h. 546

[58] Jhon L. Esposito, Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj), (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 298.

[59] Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, Akhsim Muhammad (terj), (Bandung: Pustaka: 1985), h. 192

[60] Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj), (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.204

[61] Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995),  h. 275

[62] Taufiq Abdullah, Islam Dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 245

[63] Syaiful Muzani (ed.),  Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995),  h. 275

[64] Harun Nasution & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985), h. 39

[65] Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 77

[66] Saifudin Zuhri Qudsy (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ , 2003), h. 5.

[67] Bachtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 3

[68] Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. h. 80.

[69] Diakses dari tulisan anis malik toha, http://www.Hidayatullah.com_content&task =view&id=1460&itemid=0, dengan judul: pluralisme agama.

[70]Ibid,. h. 86                                                          

[71] Ibid,. h. 94

[72]  Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 77.

[73] Selain artikel, banyak juga publikasi yang berbentuk buku yang mengusung tema pluralisme. Lihat misalnya, Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (Bekasi Timur: Menara, 2006); Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2006); Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005); Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006); Jerald F. Dirk, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006). Buku-buku ini berisi dukungan terhadap pluralisme. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, berpandangan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang paradoks dengan al-Quran. Dalam analaisis Rakhmat, dalam al-Quran banyak sekali ayat yang mendukung pluralisme.

[74] Lihat juga artikel M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekeluralisme dan Pluralisme”,

http://www.icrp-online.org.

[75] Zaenal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta: Narasi, 2008), h. 162

[76] Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH. Hasyim Muzadi, (Surabaya, LTN NU Jatim, 2004), h. 189

[77] PMII adalah salah satu gerakan mahasiswa (organisasi mahasiswa) di Indonesia PMII, yang sering kali disebut Indonesia Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah anak cucu NU (Nahdlatul Ulama yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), anak yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam dokumen kenal lahir yang dibikin di Surabaya tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 Hijriah. Namun, pada akhirnya PMII memilih lepas yakni independent dari organisasi induknya. Hal ini dipertegas dan dijelaskan pada kongres V PMII di Ciloto Jawa BArat pada tangggal 28 desember 1973. Semenjak itu PMII lepas secara structural sampai sekarang meski secara structural PMII tidak jauh brda dari tradisi NU.

[78] Mohammad Shodiq, Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi Perjalanan KH. Hasyim Muzadi, h. 196-198

[79] Gerakan Pemuda Anshor merupakan lembaga otonom yang bergerak sebagai lokus gerakan kaum muda NU.

[80] Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki, pada hari selasa, 30 Juni 2009

[81] Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan, kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.

[82] PDIP adalah Partai Demokrasi Indonesia Indonesia Perjuangan ini meminang Hasyim Muzadi sebagai calon wakil Presiden pada pemilu 2004.

[83] Diakses dari, http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Muzadi, pada kamis, 2 Juli 2009

[84] Lihat, dalam pengantar kumpulan tulisan dari koran detikcom, Suara Pembaharuan, kompas: Kiprah PBNU 2000-2001, analisis dan evaluasi pemberitaan tentang kepemimpinan Hasyim Muzadi, yang diterbitkan oleh el KAPIM Malang, tanpa tahun.

[85] Hasyim Muzadi, “Menggagas Kebangkitan NU Kedua”. Kompas, Selasa , 9 November 1999. h. 33

[86] Ibid., h. 35

[87] Muslim Abdurrahman, Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Airlangga, 2003). h. 39

[88] Ibid., h. 47

[89] Ihsan Ali Fauzi, “ Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an”, (Bandung : Prisma, Edisi  1991). h. 31

[92] Ibid., h. 57

[93] Ibid., h. 46

[94] Ibid., h. 48

[95] Ibid., h. 51

[97] David Litle, John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Riyanto (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 27.

[98] M. Imdadun Rahmat dalam  pengantar, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 4

[99] A.M. Turmudzi, “Merumuskan Keberislaman Secara Baru”, Basis, Edisi Maret 1991.

[100] Ibid. h. 9

[101] Ibid. h. 12

[102] Ibid. h. 3

[103] Hasyim Muzadi, Diakses dari http://www.nu.or.id/show/pages/625.html

[104] Muhadjir Darwin, Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas Agma dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press). h. 31

[105] Ibid., h. 44.

[106] Ibid., h. 45.

[107] Ibid., h. 57

[108] Ibid., h. 46.

[109] Ibid, h. 47.

[110] Ibid., h. 48-49.

[111] Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dkk., Islam PribumiMendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Airlangga, 2003), h. 103.

[112] Ibid. 105

[113] Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance (Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004)., h. 142.

[114] Ibid., h. 145

[115] Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dkk., PribumiMendialogkan Agama Membaca Realitas., h. 212-213.

[116] Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance., h. 54.

[117] Ibid., h. 55.

[118] Ibid., h. 63.

[119] Ibid., h. 56.

[120] Ibid., h. 57.

[121] Ibid., h. 57-58

[122] Ibid., h. 58

[123] Ibid., h. 59

[124] Ibid., h. 62.

[125] Ibid., h. 63

[126] Ibid., h. 113.

[127] Kompas, 30 Juli 2005.

[128] http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html.

[129] Ibid., h. 72

[130] Beberapa daerah di Indonesia saat ini “tercatat” tengah memberlakukan syariat Islam Nangroe Aceh Darussalam dan beberapa kabupaten atau kecamatan di wilayah ini.

[131] Sutoro Eko, “Pelajaran Konsolidasi Demokrasi Untuk Indonesia”. Dalam pangantar buku terjemah Lary Diamond, Developing Democracy: toward consolidation (Jogjakarta: IRE Press, 2003), h. 14

[132] Ibid,,. h. 36

[133] Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 59

[134] Eman Hermawan, Politik Membela Yang Benar; Teori, Kritik dan Nalar, (Jogjakarta: Klik R, 2001), h. 49

[135] Ibid., h. 50

[136] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, (Jakarta, Logos, 1999), h. 48

[137] A. Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi: Meawat Bangsa dengan Visi Ulama, h. 72

[138] Hasyim Muzadi, Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa, (Jakarta, Pustaka Azhari, 2004), h. 29

[139] Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais tentang negara (Jakarta,: Rajawali Pers, 1999), h. 61

[140] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 49

[141] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 48

[142] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 50

[143]  Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 53

[144] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 55. Lihat juga , Abdurahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme”, dalam Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta, Paramadina, 1995), h. 546. dan Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1992), h. 62

[145] Hal ini didasarkan pada salah satu pandangan tentang teori masuknya Islam di Indonesia. Lihat, Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan: 1998), h. 68

[146] Diakses dari http://www.antara.co.id/, pada hari senin, 06 Juli 2009

[147] Pernyataan ini sering dilontarkan Hasyim Muzadi dalam menanggapi kelompok Islam keras (ekstrimis) yang seringkali melakukan kekerasan atas nama agama, dan tak jarang gerakan ini selalu berupaya untuk mengganti sistem negara pancasila dengan ideologi Islam atau khilafah. Diakses dari http://www.eramuslim.com/, pada hari Senin, 29 Mei 2009

[148] Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, h. 61